MASYARAKAT JAHILIYYAH

Diposting oleh AAS | 20.17 | | 0 komentar »

Ketika suatu sistem (hukum) yang bukan Islami (terlepas dari macam apa sistem itu) diterapkan di suatu di masyarakat, maka sistem itu dinamakan sistem jahiliyyah dan masyarakat yang berada di bawah naungan sistem ini adalah masyarakat jahiliyyah. Ketika kita menamakan suatu masyarakat sebagai masyarakat jahiliyyah, ini sama sekali tidak berarti bahwa semua personalnya adalah jahiliyyah. Personal-personal masyarakat tersebut secara global terbagi menjadi 3 (tiga) bagian.

Bagian Pertama benar-benar jahiliyyah dan keluar dari Islam. Merekalah orang-orang yang menerima sistem itu secara rela dan memahami masalah Islami dan tidak Islaminya suatu sistem. Mereka menerima sistem jahiliyyah itu karena mereka percaya bahwa sistem itu lebih baik untuk diterapkan daripada hukum Islam.

Bagian Kedua adalah bagian yang tidak rela kepada hukum (sistem) jahiliyyah dan menginginkan hukum (sistem) Islami untuk diterapkan. Bagian ini adalah barisan orang-orang yang beriman dengan perbedaan tingkat kesadaran mereka tentang kewajiban mereka dalam usaha mendirikan masyarakat Islami yang mereka inginkan.
Bagian Ketiga adalah terbanyak, yaitu bagian posisinya tidak jelas, baik karena kejahilan mereka ataupun keacuhan mereka atau lain sebagainya.

Sistem jahiliyyah ini didukung dan dilindungi oleh kekuatan-kekuatan jahiliyyah dari dalam dan dari luar. Dari dalam, kekuatan utamanya adalah suatu kekuatan pemerintahan jahiliyyah dengan kekuatan-kekuatan pendampingnya yaitu partai-partai jahiliyyah. Walaupun mereka satu sama lain berbeda pandangan dalam banyak hal, akan tetapi dalam menghadapi Islam mereka adalah satu kekuatan dalam satu partai. Sedangkan dari luar, sistem ini mendapat dukungan penuh dari pihak-pihak Nashara dan Zionis Internasional. Penyebaran kekufuran dan kemaksiatan adalah suatu sifat asli dari sistem jahiliyyah. Demikian juga halnya dengan kebencian terhadap Islam dan kaum muslimin.

Pada masyarakat seperti ini sangat sulit bagi seorang muslim untuk memupuk imannya dan sukar sekali untuk mentarbiyah putra-putri Islam secara semestinya. Semua kondisi yang ada, mendorong setiap personal untuk menjauh dari Allah dan syurga. Atmosfir kehidupan ruhani pun teracuni oleh serbuk-serbuk jahiliyyah. Kebanyakan kekuatan yang ada pada masyarakat jahiliyyah seakan-akan penyeru-penyeru di pintu-pintu Jahannam. Siapa yang menurutinya akan dilempar ke lembah-lembah neraka. Dikarenakan hal-hal seperti itu, perjuangan merubah masyarakat jahiliyyah menjadi masyarakat Islami adalah suatu tugas yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

AAS (31/01/09)


PIMPINAN

Diposting oleh AAS | 02.28 | | 0 komentar »

Kepemimpinan adalah suatu tugas yang sangat berbahaya sekali. Pertanggung jawaban kepemimpinan di sisi Allah sangat besar sekali. Jika orang-orang yang bertakwa menyelami benar-benar kebesaran tanggung jawab ini , niscaya semua mereka akan berusaha menghindari tugas ini dan niscaya pula tidak akan ada orang yang merasa iri kepada seorang pemimpin atas kepemimpinannya. Posisi seorang pemimpin sangat penting sekali. Sebab itu pula setiap negara memberi prioritas dan sekuriti yang ketat kepada para pemimpinnya. Kepentingan posisi seorang pemimpin bukanlah karena zatnya, tetapi dikarenakan oleh peranannya dalam suatu bentuk amal jama’i dalam semua tingkatan. Tidak ada amal jama’i kalau tidak ada pimpinan. Peranan terpenting dari seorang pemimpin adalah sebagai pemersatu dan sebagai pemberi pengarahan. Untuk lebih menyelami lagi pentingnya peranan ini, mari kita simak baik-baik apa yang telah terjadi pada Ja’far bin Abi Thalib di perang Mut’ah. Beliau waktu itu sebagai pimpinan dan memegang bendera dan bendera berarti tanda pusat kekuatan suatu laskar pada waktu itu. Kalau bendera tidak ada maka laskar itupun cerai-berai karena tidak tahu posisi pusat mereka. Jadi bendera memegang peranan pemersatu. Ketika, beliau diserang dan musuh puOpsi Entrin memotong tangan beliau, maka beliau pun memindahkan bendera ke tangan yang lain dan begitulah seterusnya samapi musuh-musuh itu mencingcang beliau dan membunuhnya. Di sini kita lihat bahwa Ja’far bin Abi Thalib yang hanya bisa melakukan satu hal saja dari dua pilihan yaitu membela diri atau membela bendera, telah mengorbankan dirinya demi tahap berkibarnya sang bendera. Perbuatan ini bukanlah untuk mengagungkan secarik kain yang terikat di ujung tongkat, hal yang demikian tidak dibenarkan dalam aqidah Islamiyyah. Tetapi tujuannya adalah untuk mempertahankan kewujudan simbol pemersatu.
Tindakan ini tidak mendapat celaan dari siapa pun di kalangan para shahabat. Rasulullah saw sendiri telah mengkhabarkan masuknya Ja’far bin Abi Thalib ke syurga dengan mempunyai dua sayap. Kalau demikian halnya dengan secarik kain pemersatu, bagaimanakah hal seorang manusia pemimpin yang berperan sebagai pemersatu.
Seorang pemimpin tidak mungkin melaksanakan peranannya dengan sebaik-baiknya, kecuali kalau benar-benar dia tempatkan sebagai seorang pemimpin. Banyak pemimpin yang dituntut oleh orang-orang yang dipimpinnya untuk menjadi pengikut, bukan menjadi pemimpin. Mereka mengharuskan sang pemimpin mengikuti suara terbanyak, sehingga suara terbanyaklah pemimpin yang sebenarnya dan sang pemimpin hanya menjadi koordinator. Walaupun secara sekilas hal itu bisa diterima, akan tetapi hasilnya akan buruk sekali. Di antara keburukannya adalah kehilangan unsur kecepatan dalammengambil keputusan dan bisa mengakibatkan terbentuknya fraksi-fraksi di dalam tubuh jama’ah. Seorang anggota harus tetap patuh kepada pimpinannya walaupun sang pemimpin tidak pandai bermusyawarah. Penilaian tentang kepandaian ini pun relatif. Karena kepatuhan jauh lebih penting dari syura itu sendiri disamping seorang pemimpin harus bisa melakukan syura dengan baik, tetapi jangan sampai syura menjadikannya sebagai seorang koordinator saja. Seorang pemimpin harus mengetahui dengan jelas hal-hal mana yang harus disyurakan dan hal-hal mana yang memerlukan kecepatan pengambilan keputusan. Setelah bersyura, dia berhak untuk mengikuti suara terbanyak atau mengikuti lainnya.
Ketika seorang pemimpin tidak pandai dalam menjalankan syura, tidak ragu lagi hal ini merupakan suatu kerugian bagi jama’ah. Tetapi kerugian pembangkangan atau kerugian kehilangan kepemimpinan akibat over syura akan jauh lebih besar lagi kerugiannya.

AAS (30/01/09)

MANHAJ ALTERNATIF

Diposting oleh AAS | 02.25 | | 0 komentar »

Salah satu cara atau manhaj alternatif adalah menempuh jalur-jalur demokrasi, dengan cara membentuk suatu partai politik dan mengikuti pemilihan umum serta memasuki parlemen, dengan harapan bisa menguasai suara terbanyak untuk sanggup mengadakan perubahan yang diinginkan melalui pemungutan suara. Metode atau manhaj ini mempunyai dua cacat besar, yaitu cacat syar’i dan cacat realita. Cacat syar’i utama dalam manhaj ini adalah karena demokrasi adalah manhaj syirik yang menyerahkan hak Allah dalam menentukan hukum, kepada rakyat (manusia) yang diwakili suara terbanyak dalam parlemen. Kesyirikan sistem demokrasi adalah suatu hal yang jelas sekali dan telah menjadi kesepakatan ulama Islam. Dengan demikian menempuh jalan demokrasi adalah keterlibatan dalam suatu sistem kufur dan sudah menjadi suatu aqidah yang pasti dalam Islam bahwa penempuhan jalan yang tidak diridhai Allah tidak akan membawa kemenangan dan keberhasilan dalam perjuangan Islam.
Adapun cacat syar’i lainnya dari manhaj ini, bahwasanya Allah telah melarang kita untuk duduk bersama orang-orang yang menghina ayat-ayat-Nya. Allah swt berfirman :
………..
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al-Quran bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokan (oleh orang-orang kafir), maka janglah kalian duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kalian serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam” (Qs. An-Nisaa’ [4]:140)
Majelis-majelis parlemen dalam sistem demokrasi merupakan temapt-tempat untuk menghina hukum-hukum Allah dengan cara menolaknya dan tidak memperdulikannya serta dengan mengangkatnya syari’at jahiliyyah setinggi-tingginya. Tempat mana langkah yang dianggap lebih menghinakan ayat-ayat Allah daripada tempat seperti ini? Di waktu yang sama, keberadaan para da’i-da’i Islami dalam jalur sistem demokrasi akan mensamarkan kekufuran sistem itu di hadapan masyarakat yang salah satu kewajiban besar kita adalah menerangkan kepada mereka tentang kekufuran sistem itu. Di waktu yang sama orang-orang jahiliyyah mendapat semacam legitimasi “Islami” atas sistem mereka dengan keberadaan para da’i-da’i tersebut.
Dalam kenyataan, cara ini pun banyak melalaikan para da’i dari pekerjaan utama mereka yaitu menyampaikan risalah Allah dengan segamblang-gamblangnya, melakukan tarbiyah dan menjelaskan semua kejahiliyyahan sistem yang ada. Di jalur ini penghalalan cara-cara yang diharamkan pun sering terjadi demi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Seperti persekutuan dengan pihak-pihak sekuler di dalam parlemen dan lain-lainnya, yang semuanya akan lebih mensamarkan masalah aqidah al-wala’ wa al-bara’ dan Al-Hakimiyah.
Adapun cacat realita pada metode ini adalah hal yang nyata dan jelas sekali. Kalau kita kesampingkan cacat syar’i yang ada, maka dari manakah mereka (para da’i yang duduk di parlemen) akan mendapat suara terbanyak selama masyarakat masih belum ditarbiyyah secara Islami dan masih belum menyelami bahwa bahwa tauhid hakimiyyah adalah kandungan dari……………. Kalau kita umpamakan bahwa 100% suara di parlemen adalah untuk pihak Islami dan parlemen memutuskan untuk menerapkan hukum-hukum Allah serta menghapus sistem jahiliyyah yang ada, maka suatu kudeta militer yang digerakkan dan direstui oleh kekuatan Zionis Internasional akan dengan segera menggagalkannya dalam waktu 24 jam dan menjebloskan semua anggota parlemen ke dalam penjara.
Di waktu itu, karena tarbiyyah Islamiyyah yang serius kepada masyarakat terabaikan (karena memang manhaj dakwahnya bukan manhaj tarbiyyah yang serius), maka masyarakat pun hanya sekedar menjadi penonton dan bertopang dagu. Contoh-contoh pengalaman pahit para da’i di Mesir, Turki, dan Al-Jazair pada akhir abad ke-20 telah kia lihat dan bisa kita ambil pelajaran darinya.

AAS (30/01/09)

Wanita Pembangkit Umat

Diposting oleh AAS | 21.10 | | 0 komentar »

Nama : Maison
Tempat : Damaskusss
Waktu : Jum’at, 607 H.
Bencana : Agresi kaum salibis seperti badai topan yang menghancurkan setiap orang yang ada di hadapannya.
Ujian : Empat orang saudaranya gugur syuhada’ dalam jihad suci mereka.

Apa yang bisa dilakukan seorang wanita tak bersenjata dalam menghadapi pasukan besar ini? Memang, wanita seorang diri tidak berdaya melakukan sesuatupun. Tapi, Ia adalah seorang wanita yang digembleng keimanannya menjadi sosok mahluk yang lain. Ia mampu balikkan tolok ukur. Ia putar kebiasaan dan ia ubah prediksi peristiwa. Keimanan turun dalam hatinya, sehingga ia merasakan kekuatan dalam otot-ototnya yang mampu menggetarkan kota Damaskus. Dalam kerongkongannya, tersembunyi suara yang bisa didengar orang-orang mati. Dalam hatinya bersemayam tekad baja yang tidak akan melemah, perbekalan yang tidak habis, serta kekuatan yang mampu memecahkan besi dan mendobrak benteng.

Ia kumpulkan para wanita yang datang untuk menghibur dan turut berbela sungkawa. Ia berkata kepada mereka , “Kita tidak diciptakan sebagai laki-laki yang menenteng pedang-pedang. Tapi, bila kaum laki-laki takut, maka kita harus mampu melakukan sesuatu. Demi Alloh, rambutku ini adalah harta paling berharga yang aku miliki. Aku merelakannya untuk dijadikan tali kendali kuda yang berperang di jalan Alloh. Semoga dengan begitu aku bisa membangkitkan orang-orang mati tersebut.”

Lalu ia mengambil gunting dan memotong rambutnya. Para wanita yang hadir disitu meniru perbuatannya. Kemudian mereka duduk memintalnya menjadi tali kekang kuda tempur, tidak untuk hari perkawinan atau malam pertama. Mereka mengirim tali-tali borgol dan tali-tali kekang ini kepada khotib masjid jami’ Umawi, cucu Ibnul Jauzi. Lalu, ia membawanya ke masjid pada hari Jumat. Ia duduk diruangan sempit, memegang tali kekang dan tali borgol tersebut dihadapannya, sedangkan air mata menggenangi kedua mata. wajahnya muram. Manusia melihat pemandangan tersebut dan mereka saling memandang. Hingga akhirnya ia bangkit menyampaikan suatu khotbah yang huruf-hurufnya panas menyakiti hati orang yang mendengarnya, kata-katanya menyala-nyala membakar semangat. Khutbah ini terhitung satu keajaiban kefasihan dalam bertutur kata yang dalam satu masa sekali keluar dari lisan seorang orator atau tertoreh oleh pena seorang penulis brilian. Sungguh sebuah karomah dan sesuatu yang luar biasa, Tapi para perowi hanya menghafal sebagiannya lalu mewariskannya turun temurun. Sebagian isi khutbah yang berhasil mereka hafal sebagai berikut :

“Wahai orang-orang yang agama telah memerintah mereka berjihad hingga berhasil membebaskan dunia dan membimbing bangsa manusia memeluk agama, tapi mereka berdiam diri hingga musuh menaklukkan negeri dan menindas agama mereka.

Wahai orang-orang yang para pendahulu mereka menjual diri kepada Alloh demi mendapatkan surga, sementara mereka menjual surga demi menuruti nafsu jiwa yang hina dan kesenangan hidup yang tak seberapa.

Wahai manusia….

Kenapa kalian melupakan agama, meninggalkan kemuliaan dan berat hati membela Alloh, sehingga Dia enggan menolong kalian? Kenapa kalian mengira kemuliaan milik orang musyrik, padahal Alloh telah menetapkan kemuliaan hanya milik-Nya, Rasul-Nya dan kaum mukminin?

Duh kenapa kalian ini, tidakkah hati kalian teriris-iris dan jiwa kalian tercabik-cabik oleh perilaku musuh Alloh dan musuh kalian? Menjarah tanah air yang disirami darah pendahulu kalian, merendahkan dan memperbudak kalian, sementara kalian dulu adalah para pemimpin dunia?

Tidakkah hati kalian tergerak dan semangat tumbuh mendengar saudara-saudara kalian dikepung musuh dan didera berbagai siksa?

Masihkah ada orang Arab di negeri ini? Masihkah ada orang muslim disini? Masihkah tersisa seorang manusia di negeri ini? Orang Arab menolong orang Arab, seorang muslim menolong muslim yang lain dan manusia menolong sesama manusia. Barang siapa yang tidak bangkit untuk mempertahankan bumi Palestina, maka ia bukan seorang Arab, bukan seorang muslim, dan bukan manusia…Tegakah kalian makan, minum, dan bersenang-senang, sementara saudara kalian disana berlumuran jilatan api, mengarungi lautan api, dan tidur beralas bara api?

Wahai manusia, genderang perang telah ditabuh, suara panglima jihad telah menggema, dan pintu-pintu langit terbuka lebar. Bila kalian bukan dari barisan pasukan kuda perang, maka berilah jalan kaum wanita untuk mengarunginya; pulanglah kalian memasak dan berdandan, wahai para wanita yang bersorban dan berjenggot!!

Pertama, hampiri kuda-kuda dan ini ambil tali kekang dan tali pengikatnya! Tahukah kalian dari apa tali-tali kekang dan pengikat ini dibuat? Sungguh para wanita membuatnya dari rambut-rambut mereka, sebab hanya rambut tersebut yang mereka miliki untuk membantu Palestina. Demi Alloh, ini adalah jalinan rambut wanita-wanita pingitan yang tidak sekalipun terkena sinar matahari karena selalu dipelihara dan dijaga. Mereka rela memotongnya karena sejarah cinta telah habis, berganti sejarah perang suci. Berperang dijalan Alloh, membela tanah air dan kehormatan. Bila kalian tidak mampu mengikatkannya pada kuda-kuda, ambillah, dan pakailah sebagai hiasan kepala kalian. Sungguh tali-tali itu dibuat dari rambut-rambut kaum wanita. Masihkah tersisa perasaan dalam diri kalian?”

Ia melemparkannya dari atas mimbar ke tengah-tengah para hadirin seraya bersuara lantang, “Merekahlah wahai kubah Nasr, bergoyanglah wahai pilar-pilar masjid dan hancurlah wahai (bintang-bintang meteor), sungguh para lelaki telah menyia-nyiakan keberanian mereka.”


AAS (20/01/09)

AWAS TIPUAN

Diposting oleh AAS | 19.29 | | 0 komentar »

Dalam era yang dinamakan era reformasi di negeri ini, banyak bermunculan kelompok-kelompok Islami yang berbentuk lasykar-lasykar atau lainnya. Mereka pada umumnya menunjukkan perilaku “perjuangan” Islami. Tetapi karena pada umumnya mereka tidak dilandasi oleh tarbiyyah aqidah, maka yang terlihat adalah kejanggalan-kejanggalan yang menyolok. Meereka mengingkari beberapa macam kemungkaran yang ada di masyarakat, tetapi di waktu yang sama merekapun mengakui keabsahan dari wujud kemungkaran yang jauh lebih besar, yaitu keabsahan hukum thaghut. Hal ini adalah susatu akibat dari tidak adanya tarbiyyah Islamiyyah pada kelompok-kelompok tersebut, khususnya tarbiyyah aqidah. Di waktu yang sama kelompok-kelompok ini akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang makin lama makin dikultuskan. Kita sulit menghapuskan kecurigaan bahwa di antara pimpinan-pimpinan ini mungkin ada orang-orang susupan dari firqah-firqah sesat untuk di suatu waktu menggiring pengikutnya memasuki firqah-firqah tersebut. Juga kita dapati banyak organisasi-organisasi Islam yang haluan resminya dan sepak terjangnya dengan terang-terangan mendukung hukum thaghut serta kelanggengan masyarakat jahiliyyah. Untuk tidak tertipu oleh “Keislaman” palsu ini, seorang muslim harus berpegang teguh pada aqidahnya dengan sekuat-kuatnya dan mengukur semua yang ada di masyarakat dengan ukuran aqidah yang benar. Jangan sampai tertipu oleh parade-parade “Islami” dan nama-nama Islam yang tidak selaras dengan aqidahnya.

AAS (10/01/09)

AWAS JEBAKAN

Diposting oleh AAS | 19.27 | | 0 komentar »

Banyak lagi cara-cara alternatif yang pernah dicoba di alam Islami untuk mendirikan masyarakat Islami. Kebanyakan dari cara-cara itu hanya menyebabkan pengorbanan yang tidak semestinya tanpa memberikan hasil yang berarti. Di antara cara-cara itu adalah usaha untuk menggerakkan masyarakat yang tidak tertarbiyyah melalui pidato yang berapi-api atau mengumpulkan sekelompok kecil pemuda untuk memulai jihad fisik dengan persiapan yang jauh sekali di bawah memadai. Dalam hal-hal seperti ini telah terjadi kesalahan-kesalahan besar berupa pengabaian unsur tarbiyyah, permehan bobot kekuatan jahiliyyah, tidak menghiraukan tahapan hukum jihad dan lain-lain.
Peremehan bobot kekuatan jahiliyyah sering berupa ketidak sadaran bahwa kekuatan jahiliyyah setempat adalah bagian dari jaringan kekuatan jahiliyyah internasional yang dipimpin oleh Zionis dan Salibiyah Internasional. Terkadang hal ini disadari, akan tetapi dengan kesadaran yang dangkal, ditambah lagi dengan suatu pandangan bahwa niat kita benar-benar fi sabilillah, maka betapa lemahpun kekuatan kita, kita bisa mengalahkan kekuatan batil yang betapa pun besarnya.
Kita lupakan bahwa jaminan perbandingan dalam Islam pada kondisi yang kuat adalah sepuluh banding satu dan dalam keadaan lemah dua banding satu. Hal inipun baru sebatas kuantitas. Bagaimana kalau kita jauh lebih lemah, jauh lebih sedikit dan kejahilan masih menguasai mayoritas dari kita.
Celakanya lagi banyak kelompok-kelompok Islami yang tidak menyadari bahwa kekuatan jahiliyyah sering membuat jebakan-jebakan dengan jalan memancing kekuatan Islami yan masih lemah untuk menjadi terburu-buru keluar menantang kekuatan jahiliyyah di medan laga. Bagaimanapun keganasan jahiliyyah, mereka tetap membutuhkan keridhaan masyarakat dalam menghancurkan suatu kekuatan Islami. Memulainya kekuatan Islami yang masih lemah itu dalam membuat kekuatan suatu benturan dengan kekuatan jahiliyyah adalah suatu alasan yang kuat bagi kekuatan jahiliyyah di hadapan masyarakat untuk menghancurkannya.
Jebakan-jebakan seperti ini sudah sering terjadi, baik dengan cara penyusupan unsur-unsur badan intelejen ke tubuh suatu kelompok Islami atau pemberian info-info terbalik yang menggiurkan ataupun cara-cara busuk lainnya.

AAS (10/01/09)

PERBEDAAN PENDAPAT

Diposting oleh AAS | 03.12 | | 0 komentar »

Perbedaan pendapat adalah suatu hal yang normal dan bisa dikatakan sebagai hal yang mendominasi hubungan di antara manusia sesama manusia. Hal ini tidak diragukan lagi setiap orang yang memperhatikan dengan cermat perihal hubungan antar manusia. Perbedaan pendapat sama sekali tidak akan berbahaya bagi keutuhan sebuah organisasi selama para anggotanya menyadari sedalam-dalamnya bagaimana mereka harus bersikap dalam beselisih pendapat. Sebagai seorang da’i Islami kita harus lebih utama dari orang-orang selain kita untuk dapat menjaga agar perbedaan pendapat di antara kita tidak menjadi pencerai-berai. Hal ini disebakan oleh banyak hal, di antaranya :
  1. Kita tidak menjadikan atau memposisikan pendapat kita setingkat dengan wahyu, yang tidak ada kompromi padanya.
  2. Kita menyadari bahwa pendapat kita tidaklah ma’shum. Orang yang secara atau tidak sadar memandang bahwa pendapatnya pasti benar, adalah orang yang memandang bahwa pendapatnya adalah ma’shum. Orang demikian seakan-akan mengaku bahwa dia mengetahui yang ghaib. Kalau hal ini benar-benar kita sadari, maka akan kita sadari pula bahwa pendapat kita benar tetapi mungkin pendapat orang lain mungkin juga benar. Dengan demikain kita akan mempertahankan pendapat kita tanpa batas, sampai-sampai persatuan dan persaudaraan kita pertaruhkan.
  3. Sebagai da’i Islam pada khususnya dan sebagai seorang muslim pada umumnya, kita harus menjadi seorang yang mukhlis kepada Allah saja. Tetapi ketika kita mukhlis juga pada diri kita (suatu kesyirikan), maka kita siap mengorbankan persatuan kita (yang merupakan suatu peribadatan kita kepada Allah) asal saja pendapat kita termenangkan. Seorang yang mukhlis kepada dirinya pun, siap mengisi hatinya dengan kebencian dan kedengkian terhadap saudara-saudaranya ketika pendapatnya tersisihkan. Sedangkan orang yang mukhlis kepada Allah akan bersih hatinya atau berusaha membersihkan hatinya walaupun pendapatnya selalu tersisihkan. Sebab seorang mukhlis kepada Allah akan menyadari bahwa pendapat adalah suatu itjihad.. Sebuah itjihad yang mukhlis, akan diberi ganjaran oleh Allah, baik itjihad itu diterima oleh manusia maupun tidak. Dia pun menyadari bahkan jika itjihadnya diterima oleh saudara-saudaranya, maka resiko buruk dari itjihad itu masih mungkin terwujud. Sedangkan kalau itjihad itu ditolak maka ia akan mendapat pahalanya tanpa suatu resiko apapun.
  4. Dibanding da’i-dai kufur, kita sebagai da’i Islam sebenarnya harus lebih jauh dan jauh lebih sensitif atas pentingnya persatuan dan buruk serta berbahayanya perpecahan. Sebab semua itu adalah amal shaleh lillahi dan kebalikannya akan menjadi pertanggungjawaban yang besar kelak di hadapan Allah. Dalam pandangan kita, kehancuran barisan perjuangan jauh lebih besar daripada kehancuran rumah tangga kita masing-masing. Maukah kita melihat kehancuran rumah tangga sebagai hukuman duniawi dari Allah, karena kita sudah menjadi salah seorang penyebab kehancuran barisan perjuangan.

Dari semua itu kita harus lebih pandai untuk tidak menjadikan perbedaan pendapat sebagai pemecah barisan. Harus lebih pandai dalam saling mengalah dan harus lebih pandai dalam berikhlash.

Kalau da’i-dai kufur mampu mencegah perpecahan di partai-partai mereka, sedangkan perbedaan pendapat di kalangan mereka jauh lebih banyak dan mereka tidak mempunyai pandangan imaniyyah, maka ketidakmampuan kita untuk lebih mampu dari mereka, akan merupakan pertanda dari kepicikan akal dan kelemahan iman kita.

Memang benar, bahwa suatu aturan main yang bagus akan banyak mengurangi friksi-friksi antar ikhwah. Tetapi jaminan terbesar dan terkuat adalah kekokohan kita dan pengertian kita tentang hubungan antara iman itu dan amal jama’i kita. Aturan main yang baik tidak bisa dihasilkan hanya oleh sebuah renungan. Tetapi aturan itu akan dilahirkan oleh perkawinan antara waktu dan pengalaman kita beramal jama’i. Aturan itu akan tumbuh sedikit demi sedikit, menuju ketitik kesempurnaan. Harus kita dan mengerti benar-benar bahwa hal-hal yang kita jelaskan tadi adalah dasar dan bagian terbesar dari aturan main itu sendiri.

AAS (10/01/09)

Perjalanan Hidup

Diposting oleh AAS | 23.09 | | 0 komentar »

Saudara/i ku...

Kita sering bilang bahwa kita sedang menempuh perjalanan hidup di dunia...

Oh.. Kata yang sering kita sebut, tapi tidak begitu bermakna di jiwa dan qolbu kita..

Perjalanan hidup yang harus ditempuh oleh setiap insan menuju kehidupan hakiki yang sesungguhnya..

Alloh Swt, Sang Maha Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta telah banyak menyebut dan mengingatkan kata itu dalam firmanNya..

Shirot (Jalan) yang disebut 44 kali dalam Al Qur`an, Sabil (Jalan) yang disebut seratus kali lebih atau sa`a/sa`yu (berjalan/perjalanan), begitulah kata itu banyak disebut oleh Alloh Swt untuk menyebut sebuah upaya perjalanan yang ditempuh manusia dalam mengarungi kehidupan.

Bahkan Rosululloh saw telah menggambarkan kehidupan insan di muka bumi dengan perjalanan seseorang yang hanya mampir berteduh dalam perjalananya menuju tujuan yang hendak dituju.

Beliau yang mulia saw bersabda :

“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau hanya pelintas jalan”. (Hr. Bukhori : 6416).

Saudara/i ku..

Dalam perjalanan hidup ini, kita diingatkan bahwa tujuan kita adalah pintu gerbang surga dan memasukinya, jangan sampai memasuki pintu gerbang neraka dan terjerumus dalam kehinaan di dalamnya.Ingat, tidak ada tempat ketiga yang mungkin akan bisa kita masuki di negeri tujuan di akhirat sana, yang ada hanya surga atau neraka.

Sejak kita menghirup udara dunia, kita telah dibatasi waktu untuk menempuh kehidupan yang harus kita jalani. Mau tidak mau ada pintu gerbang yang harus kita lalui untuk mengakhiri perjalanan hidup itu untuk menuju negeri kehidupan yang hakiki, kampung halaman yang sebenarnya, yaitu akhirat.

Semua gambaran itu telah diterangkan dan dijelaskan oleh Alloh Swt dan utusanNya dengan penuh kasih sayang kepada makhluk yang bernama Insan. Gambaran dunia dengan hakekat dan segala isinya, gambaran kubur sebagai pintu gerbang akhirat dengan segala keni`matan dan kesengsaraannya, gambaran akhirat dengan segala huru-haranya bahkan gambaran surga dengan berbagai ragam kemuliaan dan keni`matannya yang tiada tara serta neraka dengan segala kehinaan dan kesengsaraanya yang sangat mengerikan..

Dan ingatlah saudara/i ku yang berbahagia..

Semua kita pasti ingin akhir perjalanan kita adalah memasuki surga dengan berbagai ragam kemuliaan dan keni`matannya..

Sajak di dunia, dengan kasih sayangNya yang mulia Alloh Swt telah memberitahukan kepada kita bahwa kita harus memiliki kunci surga..

Tahukah kita, apa kunci surga yang harus kita bawa untuk membuka pintu itu di akhirat sana?

Wahab bin Munabbih (seorang tabi`in terpercaya yang lahir 34 H dan wafat 110 H yang meriwayatkan hadits dari Abu Huroiroh, Abu Sa`ied, Ibnu `Abbas, Ibnu `Umar rda) pernah ditanya oleh seseorang : bukankah “laa Ilaaha Illalloh” itu kunci surga? Beliau menjawab : betul.. Akan tetapi perlu diingat masing-masing anak kunci itu ada gigi-giginya. Jika engkau datang membawa satu anak kunci yang gigi-giginya tepat, pasti kamu bisa membuka pintu surga. Jika tidak, tentu pintu surga tidak mungkin bisa dibuka”. (Diriwayatkan oleh Bukhori secara mu`allaq 3/109)

Rosululloh saw menyebutkan kunci itu dengan gigi-giginya secara lengkap :

1. Utsman bin `Affan rda berkata: Rosululloh saw bersabda :

“Barangsiapa yang mati sedang dia berilmu tentang La Ilaaha Illalloh, niscaya dia masuk surga”. (Hr. Muslim : 26)

Ilmu tentang Laa Ilaaha Illalloh, tahu tentang hakekat makna kandungan dan konsekwensi kalimat syahadah tersebut.

2. Abu Huroiroh rda berkata : Rosululloh saw bersabda :

“Aku bersyahadah bahwa Laa Ilaaha Illalloh (tidak ada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Alloh) dan aku adalah Rosululloh yang dimana jika seorang hamba menjumpai Alloh dengan kedua syahadah tersebut tanpa keraguan, niscaya dia masuk surga”. (Hr. Muslim : 31)

Yakin tanpa ragu dengan syahadah Laa Ilaaha Illalloh

3. Mu`adz bin Jabal rda berkata : Rosululloh saw bersabda :

“Tidak ada seorangpun yang bersyahadah bahwa Laa Ilaaha Illalloh dan bahwa Muhammad itu adalah hamba dan rosulNya dengan penuh sidik (kejujuran) dari qolbunya, niscaya pasti Alloh akan haramkan dia dari api neraka”. (Hr. Bukhori: 128)

Al Allamah Ibnul Qoyyim rohimahuwloh berkata :

“Tasdiq (bersikap jujur) dengan Laa Ilaaha Illalloh mengandung unsur ketundukan dan kepatuhan pada hak-haknya, yaitu syari`at-syari`at Islam dengan membenarkan seluruh berita-berita yang disampaikanNya, menjunjung tinggi seluruh perintahNya dan menjauhi segala laranganNya”. (At Tibyan fi Aqsamil Qur`an: 43)

4. Abu Huroiroh rda berkata : Rosululloh saw bersabda :

“Manusia yang paling berbahagia meraih syafa`atku adalah orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illalloh penuh ikhlas dari qolbu/jiwanya”. (Hr. Bukhori : 99)

Ikhlas hanya mencari keridhoanNya dan hanya dipersembahkan kapadaNya, tidak untuk selainNya.

Saudara/i ku..

Itulah wujud iman dan amal sholih, ketaqwaan, ihsan (kebaikan), al birr (Kabaktian) dan semua kalimat-kalimat pujian yang Alloh cematkan kepada para pemiliknya.. Semoga kita dalam persinggahan perjalanan kita di dunia ini selalu sadar dan berusaha keras meraih kunci surga yang gigi-giginya tepat dengan pintu surga yang akan kita buka di akhirat kelak.. Amiin

(AAS 11-10-08)

Arti Jahil

Diposting oleh AAS | 18.54 | | 0 komentar »

  1. Apakah arti jahiliyah dan bagaimana karekteristiknya

Jahiliyah berasal dari kata Ah Jahlu(arab)yang berarti bodoh. Ketika menerangkan arti bahasa dari Ah Jahlu, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

…………..(arab)

Ah Jahlu adalah tidak berilmu atau tidak mengetahui ilmu. Barangsiapa yang tidak mengetahui Al Haq (kebenaran) maka orang itu Jahil basith (sederhana) sedangkan jika berkeyakinan menyalahi Al Haq (kebenaran) maka orang itu Jahil Murakkab (bertingkat). Demikian pula orang yang beramal menyalahi Al Haq (kebenaran), maka diapun jahil., sekalipun dia mengetahui bahwa dirinya menyalahi kebenaran”

(­­baca : KitabIqtiha Ash Shirath Al Mustawim Mukhalifah Ashab Al Jahim, Tahqiq : Asy Syeikh Muhammad Hamid Al Faqi, Hal : 77 – 78)

Dr Shalih bin fauzan Al Mustaqim mengatakan bahwa jahiliyyah itu adalah:

“Kondisi yang dialami bangsa Arab sebelum Islam berupa kejahilan kepada Alloh, Rasul-rasul-Nya, Syariat Ad Dien, berbangga-bangga dengan keturunan, takabur, sombong dan lain-lain yang dikaitkan dengan kejahilan yang berarti tidak berilmu atau tidak mengikuti ilmu”

Dari perkataan beliau Jahiliyyah dapat dikaitkan dari 2 sisi yaitu :

  1. Sisi masa / zaman yaitu kondisi bangsa Arab pra Islam tentu saja jika demikian masa ini telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah Saw. akan tetapi, perlu dipahami bahwa masa atau zaman mengandung karakteristik atau peristiwa yang terkandung di dalamnya yang bisa menjadi ukuran bagi zaman atau masa yang lain. Untuk itu sisi Jahiliyyah yang kedua adalah :
  2. Sisi karakteristik (Sifat-sifat atau peristiwa yang terjadi didalamnya). Sisi ini tidak akan berakhir dengan berakhirnya bangsa Arab atau setelah diutusnya Rasulullah Saw, karena dia bisa terjadi dan dapat dimiliki oleh zaman manapun, bisa terjadi dan dapat dimiliki oleh bangsa manapun atau pribadi manapun atau pribadi manapun, termasuk siapa saja diantara kita yang mengaku muslim.

Sisi karakteristik inilah yang dijelaskan oleh Muhammad Qutb rahimahullah tentang arti Jahiliyyah dalam Al-Qur’an Al Karim. Beliau mengungkapkan “Di dalam Al-Qur’an Al Karim lafadz Jahiliyyah memiliki makna khusus atau secara hakiki memiliki 2 makna terbatas yaitu :

Arab…….

  1. Jahil terhadap hakekat dan karakteristik Uluhiyyah, dan
  2. Bersikap hidup tanpa memiliki ikatan Rabbani atau dengan kata lain tidak mengikuti ajaran yang diturunkan oleh Alloh.

Kata-kata Dr.Shalih Fauzan “kejahilan kepada Alloh…” hingga akhirnya merupakan gambaran karakteristik Jahiliyyah yang tidak lepas dari 2 unsur pokok yang disebutkan oleh Muhammad Quthb tersebut. Terlebih lagi beliau memberikan sejumlah bukti dalam Al-Qur’an dan As Sunnah yang menjelaskan hal itu, di antaranya beliau mengutip firman Alloh SWT :

“ Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang telah menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagiamana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)”. Musa menjawab “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang jahil (terhadap sifat-sifat Alloh)”. (Qs. Al ‘Araf :138).

Jahil yang dimaksud dalam ayat ini adalah tidak mengetahui hakekat Uluhiyyah. Karena, seandainya mereka mengetahui bahwa Alloh Ta’ala (tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata) (Qs. Al An’am :103), (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia) (Qs. As Syura :11), (Pencipta segala sesuatu) (Qs. Al An’am : 102) dan bukan makhluk serta sifat-Nya tidak serupa dengan sifat makhluk-Nya, niscaya mereka tidak meminta hal tersebut yang menandakan kejahilan mereka terhadap hakekat Uluhiyyah.

Sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Alloh seperti sangkaan jahiliyyah. Mereka berkata: “Apakah ada kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini”.

Yang dicela oleh Alloh terhadap kelompok tersebut adalah aqidah tertentu (tashawwur mu’ayyam) yang berkaitan dengan hakekat Uluhiyyah. Yaitu aqidah mereka bahwa ada pihak lain yang ikut campurtangan bersama Alloh dalam segala urusan serta kejahilan (ketidaktahuan) mereka bahwa yang menyempurnakan perbuatan hanyalah kehendak dan aturan Alloh Yang Maha Esa.

“Yusuf berkata :”Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang jahil”. (Qs. Yusuf : 33).

Makna ayat ini berkaitan dengan sikap yang tidak diikat oleh ikatan Rabbani yaitu cenderung untuk (memenuhi keinginan) wanita, melanggar perintah Alloh dan terjerumus dalam urusan yang diharamkan Alloh. Itulah sesuatu yang oleh Yusuf ‘Alaihis Salam dikhawatirkan terjatuh ke dalamnya serta dimintakan perlindungannya kepada Alloh.

dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu”. (Qs. Al Ahzab : 33)

Makna ayat ini pun berkaitan dengan sikap hidup yang tidak diikat oleh ikatan Rabbani dan mengikuti aturan yang tidak diturunkan Alloh seperti wajibnya menjaga diri dan tidak menampakkan perhiasan wanita kecuali terhadap para mahramnya.

“Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Alloh bagi orang-orang yang yakin? (Qs. Al Maidah : 50).

(baca : kitab : “Ru’yah Islamiyyah Lii Ahwal Al ‘Alam Al Mu’ashri, Hal : 15 – 17)

2. Karakteristik inilah yang dapat saja terjadi pada perorangan atau suatu negara. Seorang yang tidak mengenal hakekat Uluhiyyah yang benar atau bersikap hidup tanpa ikatan Rabbani tentu disebut memiliki sifat Jahiliyyah, walaupun dia mengaku Islam. Begitu pula sebuah negara yang sistem hukum, norma dan tata nilainya bertentangan dengan hakekat Uluhiyyah atau tidak terikat dengan ikatan Rabbani dapat digolongkan sebagai negara Jahiliyyah, walaupun mayoritas penduduknya atau pemimpin kaum muslimin.

  1. Apakah hakekat Islam yang sesungguhnya ?

Al Islam (…….) yang memiliki akar kata dari (……) dalam bahasa Arab setidaknya mengandung tiga makna seperti di bawah ini :

o (arab………….) (bebas dan bersih dari penyakit lahir dan bathin)

o (………………) (damai dan tentram)

o (………………) (ta’at dan patuh)

(Ruuh Ad Dien Al Islaamy, Afif Abdul Fattah Thabbarah, hal : 13)

Dalam Al Qur’an kalimat Al Islam paling tidak menggambarkan 4 pemahaman yang amat penting :

1. Islam kontradiktif sebuah kesyirikan

Alloh berfirman :

“..katakanlah : Sesungguhnya aku diperintahkan agar aku menjadi yang pertama kali Islam dan jangan sekali-kali kalian masuk golongan orang-orang musyrik(Qs. Al An’am : 14)

2. Islam kontradiktif sebuah kekufuran

Alloh berfirman :

“…apakah (patut) dia menyuruh kalian berbuat kekafiran di waktu kalian sudah Islam(Qs. Al Imran : 80)

3. Islam bermakna kepada Alloh

Alloh berfirman :

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Alloh..” (Qs. An Nisaa : 125)

4. Islam bermakna Al Khudlu dan Al Inqiyadh (Ketundukan dan kepatuhan)

Alloh berfirman :

“Dan kembalilah kepada Rabb kalian dan berserah diri / tunduk dan patuhlah kepadanya…” (Qs. Az Zumar : 54)

(Ibid, hal : 14)

Jika, dilihat dari asal maknanya, baik menurut bahasa maupun menurut apa yang dipahami di dalam Al Qur’an, maka Islam- sebagaimana yang dinyatakan oleh Dr. Shalah Ash Shawy – adalah :

Penyerahan diri secara mutlak kepada Alloh serta tunduk dan patuh dengan hidayat yang diturunkan kepada rasul-Nya”

(Tahkiim Asy Syari’at wa Da’aawi Al ‘Ilmaaniyah. Dr. Shalah Ash Shawi, Dar Ath Thayyibah, Riyadh. Cet. I tahun 1412 H. Hal : 23)

Makna Islam tersebut berarti mengandung 2 asas utama, yaitu :

1. Penyerahan diri secara mutlak kepada Alloh, serta

2. Tunduk dan patuh kepada syari’at yang dibawa oleh para rasul-Nya.

Muhammad bin Abdul Wahhab menambahkan asas makna Islam ini mejadi tiga yang diistilahkannya dengan tauhid, ta’at dan bara’ah dari syirik. Dia berkata :

Islam adalah berserah diri kepada Alloh dengan tauhid, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan keta’atan serta membebaskan diri (bara’ah) dari syirik”.

(Al Ushul Ats Tsalatsah, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal : 46)

Asas ketiga yang menjadi tambahan dari dua asas sebelumnya itu adalah :

3. Membebaskan diri dari berbagai bentuk kesyirikan (Al Bara’ah min Asy Syirik)

Dari sini dapat kita ketahui bahwa Islam terkait dengan 2 hal, prinsip dan tujuan hidup serta perbuatan dan sikap hidup. Prinsip dan tujuan hidup adalah tauhid yang tidak bercampur dengan syirik serta perbuatan dan sikap hidup yang ta’at kepada Alloh dengan ketundukan pada aturan-Nya yang diturunkan kepada para utusan-Nya. Kedua unsur inilah yang terkandung dalam 2 kalimat thayyibah aau 2 kalimat syahadat (persaksian), yaitu :

1) Syahadat tidak ada ilaah kecuali Alloh (……….) yang berarti hidup dengan prinsip dan tujuan tauhid. Dimana konswekensinya berarti membebaskan diri dari seluruh prinsip dan tujuan yang berbentuk syirik, yang dilambangkan dengan peribadatan / pengabdian kepada Thagut, Jibt, Andaad, Arbaab dan Aalihah dengan seluruh aksesoris dan subtansinya

(baca : [Qs 2 : 22; 165; 256 & 257], [Qs. 4 : 51; 60 & 76], [Qs. 5 : 60], [Qs. 16 : 36], [Qs. 39 : 17], [Qs. 9 : 31], [Qs. 3 : 64 & 80], [Qs. 12: 39], [Qs. 14 : 30], [Qs. 34 : 33], [Qs. 39 : 8], [Qs. 41 : 9])

2) Syahadat bahwa Muhammad adalah Rasul (utusan) Alloh. (……………..) yang berarti berbuat dan bersikap hidup dengan sunnah. Dimana konsekwensinya berarti membebaskan diri dari seluruh bentuk perbuatan dan sikap hidup bid’ah, yang dilambangkan dengan hidup hanya sesuai dengan akal, rasa, mimpi, khurafat, takhayyul, kontrak sosial dan atau hidup dengan aksesoris dan subtansi non Ittiba’ Rasul serta masyarakat Islami (para shahabat) di masa beliau.

(baca : [Qs. 2 : 129 & 151], [Qs. 3 : 164 & 179], [Qs. 4 : 13-14, 59-65, & 80], [Qs. 7 : 85], [Qs. 33 : 36], [Qs. 59 : 36], [Qs. 62 : 2]

C. Bagaimana Hakekat Islam sebagai Ad Dien ?

Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata :

“Ad Dien (…) adalah mashdar, dan mashdar disandarkan kepada fa’il (subjek) dan maf’ul (objek). Dalam bahasa Arab dikatakan (…) (Si fulan berdien kepada si fulan) jika dia mengabdi dan menta’atinya. Begitu pula dikatakan : (…) jika dia merendahkannya (……) (seorang hamba berdien kepada Alloh) jika dia mengabdi dan menta’ati-Nya. Jika, Ad Dien disandarkan kepada seorang hamba, maka berarti dia orang yang mengabdi dan menta’ati, sedangkan jika disandarkan kepada Alloh, maka berarti Dia Zat Yang diabdi dan dita’ati”.

(baca : Kitab “Majmu Fatawa” : 15/159)

Atas dasar tersebut, barangsiapa yang memasukkan diri dalam keta’taan kepada Alloh Yang Maha Esa dan ketundukkan diri terhadap hukum-hukum dan undang-undang-Nya serta mengikuti wahyu yang diturunkan kepada-Nya, maka berarti dia telah masuk dalam Dien Alloh, yaitu Islam serta menjadi abdi Alloh Yang Maha Esa. Selanjutnya, barangsiapa yang berpaling dari keta’atan Alloh Swt, hukum-hukum selain-Nya sekalipun dalam salah satu bagiannya – maka berarti dia telah masuk dalam dien Alloh dan pengabdi selain Alloh, sekalipun secara lisan beribu kali mengaku diennya adalah Islam. Alloh Swt berfirman :

“Dan berperanglah mereka, supaya jangan ada fitnah ada supaya dien itu semata-mata untuk Alloh. Jika mereka berhenti dan (dari kekafiran), maka sesungguhnya Alloh Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Al Anfal : 39)

Ibnu Taimiyah rahimahulloh mengatakan :

Ad Dien adalah keta’atan. Jika sebagian Ad Dien (keta’atan) itu milik Alloh dan sebagian lainnya kepada selain Alloh, maka dia wajib diperangi hingga seluruh Ad Dien (keta’atan) milik Alloh”. (lihat : Kitab “Majmu Fatawa” : 28 / 544)

Ibnu Jarir Ath Thabari ketika mentafsirkan (dan supaya dien itu semata-mata untuk Alloh) mengatakan :

Supaya seluruh keta’atan dan pengabdian hanya milik Alloh murni, tanpa disekutukan dengan selain-Nya dan kata “fitnah” ditafsirkan dengan kesyirikan”.

(baca : Tafsir Ath Thabari)

Berdasarkan makna-makna Ad Dien memiliki 2 arti pokok, yaitu :

1. Hukum peradilan, undang-undang dan ‘urf (tradisi rakyat)

2. Keta’atan, pengikutan, kepatuhan, ketundukan dan penyerahan diri pada kedaulatan tertinggi yang memiliki wewenang

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Alloh, jika kamu beriman kepada Alloh, dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (Qs. An Nuur : 2)

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Alloh ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Alloh di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah ,menganiaya diri dalam bulan yang empat itu dan perangilah musyirikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semua; dan ketahuilah bahwasanya Alloh berserta orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. At Taubah: 36)

“ Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudarnya sendiri, kemudian mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Alloh menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki: dan diatas tiap-tiap orang yang bepengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui “. (Qs. Yusuf : 76)

“Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya. Dan kalau Alloh menghendaki niscaya mereka tidak mengerjakan, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Qs. Al An’am : 137)

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Alloh yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Alloh. Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Alloh) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang sangat pedih.” (Qs. As Syuuraa : 21)

“Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku” (Qs. Al Kafirun : 6)

Setelah menyebutkan ayat-ayat di atas, maka Al Maududi mengatakan :

Yang dimaksud dengan Ad Dien di dalam seluruh ayat tersebut adalah Al Qanun(Undang-undang), Hudud, Syari’at, Tahriqat (metode) serta nidzam berfikir dan amal yang mengikat manusia. Jika kedaulatan yang ditekankan untuk para pengikutnya adalah undang-undang atau sistem kedaulatan Alloh, maka tidak diragukan lagi bahwa itulah dienulloh. Sedangkan jika kedaulatan tersebut adalah kedaulatan seorang penguasa maka orang itu berada dalam dien penguasa tersebut. Jika dia menganut kedaulatan para syeikh atau tokoh agama, maka dia penganut dien mereka. Demikian pula jika kedaulatan tersebut adalah kedaulatan suku, marga, atau mayoritas umat, maka orang tersebut berarti penganut dien mereka.”

(baca : Al Kitab Al Qayyim Al Mushthalahat Al Arba’ah Fi Al Qur’an : 125)

Dari uraian tersebut dapat dismpulkan :

Dien Islam adalah hukum, undang-undang, tata nilai dan konsep hidup yang berasal dari Alloh melalui wahyu yang diturunkan kepada para Rasul-Nya untul dijadikan kedaulatan tertinggi dalam kehidupan manusia yang wajib dita’ati, diikuti, dipatuhi di mana seluruh kehidupan manusia dengan seluruh aspeknya tunduk dan menyerah padanya”.

Untuk itu Syeikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahulloh mengatakan :

Islam dengan makna umum berarti mengabdi kepada Alloh dengan apa saja yang diundang-undangkan-Nya, sejak Dia mengutus para rasul-Nya hingga hari kiamat. Banyak sekali ayat-ayat Alloh yang menunjukkan bahwa seluruh syari’at terdahulu adalah Islam kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. Alloh Ta’la berfirman tentang Ibrahim :

“Ya Rabb kami,jadikanlah kami berdua orang yang Islam (tunduk dan patuh) kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara cucu-cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Baqarah : 128)

Sedangkan Islam dengan makna khusus setelah diutusnya Muhammad Saw adalah wahyu yang dibawa oleh Muhammad Saw, karena wahyu yang disampaikan beliau membatalkan dien-dien yang telah lalu, sehingga orang yang mengikutinya adalah seorang muslim, sedangkan orang yang menyelisihinya adalah orang yang kafir. Pengikut-pengikut para rasul adalah muslim pada zaman rasul-rasul mereka. Yahudi adalah muslim di zaman Musa ‘Alaihi Salam dan Nashrani pun muslim di zaman Isa ‘Alaihi Salam. Sedangkan setelah diutusnya Muhammad Saw, mereka menjadi kafir bukan lagi muslim.

(baca : Kitab “Syarah Tsalats Al Ushul” : 20-21)


AAS (08/01/09)