Pahlawan dan Perubahan

Diposting oleh AAS | 18.16 | | 0 komentar »

“Jangan cepat puas, bangga atau bahagia saat nama kita disebut oleh jutaan orang, terukir dengan tinta sejarah atau mungkin dalam kalam Allah sekalipun. Serta jangan cepat pula kecewa, rendah diri atau merana saat nama kita tak pernah disebut oleh lisan-lisan manusia, tak tersebut dalam berita sejarah atau mungkin oleh kalamullah sekalipun”

Persoalannya memang bukan sekedar nama yang disebut atau diukir, tetapi persoalannya adalah dalam konteks apa nama kita itu disebut dan diukir dalam sejarah? Dengan kebaikan dan kemuliaan atau keburukan dan kehinaan ? Bukankah ada Iblis yang namanya terukir di Lauhul Mahfudz, akan tetapi dalam kerangka la’natullah ? Bukankah Fir’aun yang gelar kebesarannya terukir dalam Kalamullah akan tetapi dalam kerangka tagha dan kafaro ? Padahal di sisi berseberangan terdapat beberapa tokoh yang namanya tidak disebut secara langsung oleh Allah, akan tetapi sejarah hidup mereka terukir dalam tinta emas Al-Quran yang mulia. Ada Ahlul Ilmi yang mengukir sejarah di zaman Sulaiman as, ada Rojulun Yas’a yang menoreh kepahlawanan di kisah Yasin, ada Ashhabul Kahfi yang istiqomah ratusan tahun dalam tauhid dan ada pula Ashhabul Ukhdud yang meregang nyawa karena kebesaran jiwa dalam iman di zaman Bani Israel.

Intinya, mereka telah mengukir sejarah kepahlawanan dan perubahan di alam fana ini, walaupun masing-masing berada pada posisi kontradiktif dengan yang lainnya. Kemasyhuran, kemuliaan dan kehormatan telah menjadi ajang perlombaan mereka yang berjiwa besar dengan segala tantangan dan rintangannya.

Ada satu kata kunci yang dapat terlihat dalam perlombaan meraih kemasyhuran, kemuliaan dan kehormatan, yaitu “Merubah sejarah dan menjadi pahlawan di masanya”.

Saudaraku !

Perubahan dan kepahlawanan adalah 2 fenomena yang tidak dapat berpisah, selalu bersatu dalam satu kata dan fakta. Tidak ada satu perubahan pun yang terjadi tidak ada pahlwan di balik peristiwa tersebut. Di mana ada perubahan di situ ada pahlawan. Di saat muncul pahlawan, sinar perubahan tampak berbinar. Pahlawan di mulai dari perubahan dan akan melahirkan perubahan. Hanya orang yang bersedia menjadi pahlawan, yang dapat berjiwa besar dan orang yang berjiwa besarlah yang akan menjadi pahlawan perubahan. Di mulai dari perubahan, lalu menjadi pahlawan, hingga terjadi perubahan dan tergapailah kemasyhuran, kemuliaan dan kehormatan. Inilah rahasia firman Allah SWT dalam membangkitkan semangat kepahlawanan :

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka” (Qs. 13:11)

Akan tetapi, saudaraku ! Untuk merubah diri menjadi pahlawan, kita membutuhkan seperangkat bekal yang harus kita miliki. Apa saja bekal itu ? Kita dapat menyimak rahasia-rahasia Al-Quran ketika mengungkapkan kisah kepahlawanan. Dalam Al-Quran yang menceritakan kisah-kisah kepahlawanan, setidaknya dapat diambil 3 karakteristik utama yang harus dimiliki seorang pahlawan, yaitu :

v Ilmu dan Keikhlasan

Tahukah kita, apa yang menyebabkan terjadinya perubahan besar di awal penciptaan manusia pertama ? Malaikat yang tak pernah lelah bertaqdis kepada Allah SWT itu pun harus patuh menundukkan diri dengan bersujud kepada Adam ? Walaupun secara kasat mata – seperti yang dilansir Iblis – Adam hanylah sosok makhluk yang diciptakan dari tanah yang tidak lebih mulia dibandingkan dirinya yang tercipta dari api ? 2 makhluk-Nya telah mengukir sejarah mulia, yaitu Adam dan Malaikat, sedangkan satu makhluk-Nya, yaitu Iblis telah mengukir sejarah hina, bahkan la’nat hingga hari kiamat. Ada 2 rahasia yang membuat mulia kedua pahlawan perubahan besar dalam sejarah hidup dan kehidupan sepanjang zaman itu.

Adam yang dimuliakan dengan ilmu
Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitab “Al-Fawid” (Hal. 162) memberikan ulasan

“ Allah SWT berkehendak menampakkan kemuliaan dan keutamaan Adam terhadap seluruh makhluk-Nya. Lalu, Allah pun menciptakan makhluk-makhluk itu lebih dahulu daripada Adam. Karena itu, Malaikat berkata : “Sesungguhnya Rabb kita menciptakan apa saja yang dikehendaki-Nya. Dia tidak menciptakan satu makhluk pun yang lebih mulia daripada kami”. Maka, ketika Allah menciptakan Adam dan memerintahkan untuk sujud kepadanya, mulailah jelas keutamaan dan kemuliaan Adam dibandingkan mereka disebabkan ilmu pengetahuan

“Ingatlah ketika Rabb berfirman kepada pada para Malaikat : ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi’. Mereka berkata : ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau’. Rabb berfirman : ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui’. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para Malaikat lalu berfirman : ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika memang kalian orang yang benar!’. Mereka menjawab : ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman : ‘Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini’. Maka setelah diberitahukannya nama-nama benda itu, Allah berfirman : ‘Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan akan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan’. Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: ‘Sujudlah kalian kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang kafir. (Qs. 2:30-34)


Malaikat yang berkhidmat penuh keikhlasan
Dr. Abdul Karim Zaidan dalam kitab “Al Mustafad Min Qashash Al Quran Ad Da’wah wa Ad Du’at” (1/27) menyimpulkan :

“Allah SWT memerintahkan Malaikat untuk sujud kepada Adam, lalu mereka sujud sebagai wujud penghormatan, pemuliaan, dan pengakuan terhadap kelebihan yang dimilikinya serta dalam rangka taat kepada Allah, Rabbul ‘alamin tanpa ragu dan kaku. Padahal, di Malaul A’ala mereka selalu dalam keadaan bertasbih, takdis dan peribadatan kepada Allah Rabbul ‘alamin yang berkesinambungan. Kesegeraan para Malaikat sujud kepada Adam, padahal kondisi mereka seperti yang telah kita gambarkan, dikarenakan perintah sujud kepada Adam itu muncul dari Allah, Rabbul ‘alamin. Apa saja yang diperintahkan Allah wajib untuk segera ditunaikan saat itu juga tanpa ragu dan kaku serta tanpa menunggu ilmu pengetahuannya menggapai hikmah perintah tersebut. Inilah inti keislaman dan inilah sikap seorang muslim : Bersegera mentaati Rabbnya dan menjunjung tinggi perintah-Nya tanpa ragu dan kaku serta tidak dikaitkan dengan pertimbangan lain seperti mengetahui sebabnya, hikmahnya atau disesuaikan dengan akal atau hawa nafsunya. Dalam konteks inilah Al-Quran berbicara yang didalamnya Allah berfirman :

Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs. 33:36)

Tahukah kita, siapakah yang berhasil membuat sejarah baru dalam mengalahkan ‘Ifrit memindahkan singgasana ratu Balqis dalam waktu di luar kenormalan ? Para ulama telah berbeda pendapat tentang namanya, walaupun sebagian besar mengarah kepada Ashif bin Barkhiya. Akan tetapi, ada satu sifat yang diberikan Allah kepada sosok pahlawan di zaman Sulaiman as ini, yaitu

Berkata Sulaiman : “Hai pembesar-pembesar, siapakah diantara sekalian yang sanggup membawa singgasanya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”. Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin : “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-bernr kuat membawanya lagi dapat dipercaya”. Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab: ”Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia. ” (Qs. 27:38-40).

Dr. Abdul Karim Zaidan kembali mengulas peristiwa tersebut dalam kitab yang sama (1/444) :

“Al-Quran tidak menyebutkan siapa nama seorang yang mempunyai ilmu Al-Kitab itu, kitab apa atau ilmu apa yang diberikan kepadanya. Atas dasar itu, sangat mungkin kita katakan : dialah jin ataupun manusia yang diberikan ilmu oleh Allah yang membuatnya dapat memindahkan singgasana itu dengan izin Allah Ta’ala dan dengan cara yang diluar kenormalan…”

Ada apa dengan ilmu dengan konteks kepahlawanan atau perubahan ?

Ibnu Qayyim dalam kitab “Tahdzib Madarij as Salikin” (2/769) memberikan uraian :

“Ilmu adalah rambu-rambu hidayah, sedangkan sikap benar (termasuk sikap kepahlawanan, pen) adalah yang mendapat petunjuk darinya. Ilmu adalah peninggalan dan warisan para nabi (yang merupakan sosok-sosok pahlawan tanpa tanding dalam sejarah, pen) dan pemiliknya adalah penerima dan pewarisnya. Ilmulah penghidup kalbu, cahaya, bashiroh, pengobat jiwa, taman-taman penghias akal, pelezat ruh, shahabat para insan saat mencekam dan petunjuk manusia saat bingung. Dialah mizan penyeimbang kata, karya dan sikap. Dialah hakim pemutus keraguan dan keyakinan, penyimpangan dan kelurusan, hidayah dan kesesatan.

Ilmu adalah imam sedangkan amal adalah ma’mum. Dia adalah komandan, sedangkan amal adalah pasukannya. Dialah teman di pengasingan, shahabat kita di saat sunyi, pelipur lara di saat duka, dan pembuka tirai syubhat. Kekayaan yang tidak akan fakir, jika diraih pembendaharannya serta pelindung yang tidak akan menghinakan orang yang bernaung dalam payungnya”

Saudaraku !

Memang ilmu adalah bekal dasar menjadi pahlawan dan membuat perubahan, akan tetapi semata-mata ilmu belum tentu akan menjadikannya pahlawan kemuliaan atau kebajikan. Akan tetapi ilmu yang membawa kepada keikhlasanlah yang membawa pada terciptanya pahlawan mulia dan perubahan bijak, yaitu keikhlasan untuk selalu mengesakan Allah dalam segala konteks pengabdian, termasuk konteks tujuan serta membuang jauh-jauh penyekutuan konteks-konteks tersebut dengan unsur selain Allah SWT, inilah hakekat Islam dan tauhid. Bahkan, inilah hakekat tujuan mencari ilmu yang sesungguhnya. Karena, kita bukan hanya ingin menjadi pahlawan yang suci di mata manusia atau pahlawan apa saja, tetapi kita ingin menjadi pahlawan yang diridhai Allah, Zat satu-satu-Nya dan penentu sejarah atau perubahan serta menjadi pahlawan kebajikan dan kemuliaan.

Karena itu, saat Allah SWT para Rasul yang merupakan tokoh-tokoh pahlawan mulia dan agung, Allah SWT menyebutkan mereka dengan 2 sifat utama kesuksesan mereka :

Dan ingatlah hamba-hamba Kami : Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. (Qs. 38:45)

Walaupun para ulama salaf seperti yang dinukil oleh Syeikh Abdul ‘Aziz bin Nashir Al Julail dalam kitab “Waqafat Tarbawiyyah fii Dhaui Al Qur’an Al Karim” (1/490-490) yang terlukiskan di bawah ini berbeda pendapat tentang kedua itu, akan tetapi hal tersebut hanya bersifat redaksionil yang intinya kembali kepada 3 hal : ilmu, keikhlasan dan amal.

Ibnu ‘Abbas ra berkata : adalah (yang mempunyai kekuatan dalam taat kepada Allah dan Ma’rifah tentang Allah)

Al Kulabi berkata : (yang mempunyai kekuatan dalam ibadah dan ilmu tentangnya)

Mujahid berkata : (Al Aydi artinya kekuatan dalam taat kepada Allah dan Al-Abshar adalah pengetahuan tentang kebenaran)

Sedangkan Sa’ied bin Jubair berkata : (Al Aydi adalah kekuatan dalam beramal dan Al Abshar adalah pengetahuan mereka tentang dien yang harus mereka miliki)

Ilmu yang melahirkan keikhlasan telah, sedang dan akan melahirkan para pahlawan dalam sejarah perubahan manusia dan kemanusiaan di dunia. Bahkan Allah SWT menjadi saksi bahwa ilmu yang melahirkan keikhlasanlah yang menjadi saksi perubahan sejarah kebenaran yang amat besar dan gemilang, itulah ilmu yang membawa persaksian tauhid dan kebenaran Dien Islam.

Allah bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (menyatakan yang demikian itu). Tak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (Qs. 3:18-19)

v Mujahadah dan Istiqomah

Jika kita memperhatikan kamus berbahasa tentang arti mujahadah yang berasal dari kata Al Juhd dan Al Jahd, maka kita akan melihat adanya hubungan erat yang amat kuat antara kedua arti tersebut:

1. yang berarti (kemampuan dan kesanggupan)

2. yang berarti (beban berat, finish dan tujuan)

(Lihat Al Mu’jam Al Wasith : 1/142)

Jika kita dihadapkan pada suatu beban berat untuk mencapai satu tujuan yang disitulah finish kita yang sesungguhnya, tentu semua kemampuan dan kesanggupan akan kita kerahkan untuk menggapai dan mencapainya, walaupun di awalnya harus dimulai dengan satu kata “Pemaksaan”. Itulah hakekat mujahada dan inilah yang akan membawa orang pada istiqomah yang tidak lain merupakan buah dari mujahadah. Istiqomah itulah hakekat kepahlawanan yang terhormat, karena istiqomah berarti seperti yang diterangkan Ibnu Qayyim rahimahulloh adalah :


“Berdiri tegak di hadapan Allah atas dasar hakekat kejujuran dan penunaian” (Lihat : Tahzib Madarij As Salikin)

Seorang pejuang agung dan jujur, Rasulullah saw telah menjelmakan semua karaktersitik ini dalam peristiwa awal kenabian. Permulaan kenabian yang hari-harinya begitu berat. Bukan karena keengganan, tetapi memang Rasulullah saw yang tiba-tiba diangkat memikul amanah agung, yaitu kerasulan merasakan betapa berat dan tidak ringannya memikul amanah tersebut.

Di sela pengasingannya yang hening di Gua Hira, Malaikat Jibril datang memaksa Muhammad “Bacalah”. Tetapi Muhammad menjawab “Aku tidak bisa membaca”. Jibril kembali mengulang. Bahkan ia merangkul Muhammad hingga ia merasa sesak. “Bacalah” kata Jibril. Muhammad kembali menjawab “Aku tidak bisa membaca”.

Jibril kembali “memaksa” juga dengan merangkulnya hingga sesak, kemudian melepaskannya seraya berkata “Bacalah dengan menyebut nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang itdak diketahuinya”. (Qs. 96:1-5).

Rasulullah saw mengulang bacaan itu dengan hati bergetar. Begitulah, sebuah babakan penting kehidupan seorang Rasulullah. Bahkan kemudian menjadi episode sangat vital bagi keseluruhan kehidupan umat manusia. Bahwa “pemaksaan” yang merupakan inti mujahadah awal dari perubahan sangat spektakuler dari segala pentas kehidupan di atas dunia ini.

Babakan pemaksaan belum berhenti. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa beberapa sesudah itu, Rasulullah berjalan. Tiba-tiba mendengar sebuah dari langit. Ia mendongakkan pandangan ke arah langit. Ternyata di sana ada malaikat yang mendatanginya di Gua Hira sedang duduk di sebuah kursi, menggantung di antara langit dan bumi. Rasul menuturkan kisahnya “Aku mendekatinya hingga tiba-tiba aku terjerambab ke atas tanah. Kemudian aku menemui keluargaku dan kukatakan selimutilah aku, selimutilah aku”.

Ternyata justru Jibril membawa wahyu "Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan ! dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah.” (Qs. 74:1-7)

Rasulullah berselimut itu dipaksa bangun lagi. Untuk menerima amanah baru : Mengagungkan Allah dan memberikan indzar kepada manusia. Bahkan, seperti yang digambarkan oleh Syeikh Shafiyurrahman Al Mubarokfury dalam kitab “Ar Rahiq Al Maktum” (73) bahwa itulah kalimat agung yang menggetarkan. Sebuah kalimat yang memaksa Rasulullah saw mencabut diri dari kelembutan kasur pembaringannya pada sebuah rumah yang sejuk dan asuhan yang menghangatkan untuk siap terjun ke kancah, di antara arus dan gelombang, antara yang keras dan yang menarik menurut perasaan manusia, terjun ke kancah kehidupan.

Maka, Rasulullah saw bangkit dan setelah itu selama dua puluh lima tahun tidak pernah istirahat dan diam, tidak untuk hidup diri sendiri dan keluarga beliau. Beliau bangkit dan senantiasa bangkit untuk berdakwah kepada Allah, memanggul beban berat yang diatas pundaknya, tidak mengeluh dalam melaksanakan tugas amanah yang besar di muka bumi ini, memikul beban kehidupan manusia, tanggung jawab aqidah, perjuangan dan jihad di berbagai medan. Beliau pernah hidup di medan peperangan secara terus menerus dan berkepanjangan selam dua puluh tahun. Urusan demi urusan tidak pernha lekang selama itu, semenjak beliau mendengar seraun yang agung dan mendapat kewajiban tersebut.

Itulah pula yang pernah tertulis dalam lembaran Ashabul Kahfi yang menggambarkan para pemuda mujahid yang tetap istiqomah dalam tauhid, walaupun kekuatan sang thaghut begitu dahsyat berusaha melenyapkan jiwa-jiwa kepahlawanan mereka. Jiwa-jiwa kepahlawanan itulah yang mengantarkan mereka bertemu dalam satu wadah perjuangan dengan bermujahadah dan istiqomah di jalan tauhid.

Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk; dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri lalu mereka berkata: “Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru Ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran. Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia ilah-ilah (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka) Siapakah yang lebih dzalim daripada orang-orang yang mengadakan kebohongan terhadap Allah. Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu akan mendapat seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (Qs. 18:13-17)

v Iman dan Nashr

Sebuah iftitahiyyah yang ditujukan kepada para Mujahidin Afgan, para Ulama Mesir mengungkapkan satu nasehat yang berharga :

“Sesungguhnya jalan jihad (perjuangan yang berisi kepahlawanan) fi sabilillah adalah jalan panjang yang tidak akan mampu dipikul kecuali oleh rojul-rojul yang tangguh, yang mempunyai jiwa keimanan, jiwa besar dan semangat yang besar dan semangat yang membara. Sedangkan jiwa-jiwa yang rendah dan kalbu yang kosong iman akan selalu tak beranjak dari start jalannya, itulah yang diingatkan Allah swt :

Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu, keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka (Qs. 9:42)

Kekokohan iman yang melahirkan nashrullah itulah yang akan memperoleh jiwa-jiwa pahlawan saat mereka masuk dalam kancah operasional nashrullah. Itulah janji Allah yang didengungkan untuk para pahlawan yang berjiaw besar, bukan yang hidup hanya untuk diri atau keluarganya semata

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (Qs. 47:7)

Imanlah yang mendorong seorang rojul kurus kering secara fisik, Habib An Najjar dalam kisah Yasin menjadi pahlawan besar dalam sejarah aktor penolong agama Allah dalam kancah pertempuran yang langsung melibatkan Rabbul ‘Alamin dalam kemurkaan yang amat dashyat. Saat sang pahlawan mati karena kedzaliman. Murka Allah yang membumi hanguskan seluruh umat yang didakwahkan sang pahlawan tersebut tanpa sisa. Sang pahlawan yang lemah secara fisik itupun tergores dalam tinta sejarah emas yang mengharumkan.

Itulah sekelumit komentar yang dikatakan oleh Dr Abdul Karim Zaidan dalam kitab yang sama (1/54 :

“Kami ceritakan firman Allah swt tentang seorang penduduk pedesaan yang beriman

“Dan datanglah dari ujung kota seorang laki-laki (Habib An Najjar) dengan bergegas-gegas ia berkata : “Hai kaumku ikutilah utusan-utusanmu itu, ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Mengapa aku tidak menyembah (Ilah) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nyalah kamu (semua) akan dikembalikan ? Mengapa aku akan menyembah ilah-ilah selain-Nya, jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku ? Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata. Sesungguhnya aku telah beriman kepada Rabbmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)ku”

(Qs. 36:20-25)

Demikianlah iman yang sinar cahayanya menusuk jantung jiwa. Dia dapat mendorong pemiliknya melakukan konsekwensi imannya, dakwah kepada Allah dan jihad di jalan-Nya”

Rahasia apa yang ada dalam iman dan nashr pada jiwa pahlawan yang membara itu. Sayyid Quthb ketika merenungi ayat tentang kisah Syu’aib memberikan gambaran :

Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata : “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami”. Berkata Syu’aib : “Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya”. Sungguh kami telah mengada-ngadakan kebohongan yang besar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan kami daripadanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Rabb kami menghendaki(nya). Pengetahuan Rabb kami mengetahui segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Rabb kami, berilah kami keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.”

(Qs. 7:88-89)

“Akan tetapi, Syu’aib setinggi ia angkat kepalanya dan selantang dia tinggikan suaranya di hadapan sang thaghut manusia di kalangan pemuka kaumnya. Serta serendah dia tundukkan dirinya dan setotal dia serahkan jiwanya menghadapi Rabbul Jalil yang ilmu-Nya mencakup segala sesuatu. Saat itulah dia sungguh-sungguh menghadap Rabbnya, tidak ada Tuhan lain yang ditinggikan dan tidak dia pastikan segala hal di hadapan qadar-Nya, dia relakan dirinya di bawah komando dan kendali Allah serta dia umumkan ketundukkan dan kepatuhannya, kecuali jika Allah, Rabb kami menghendaki(nya). Pengetahuan Rabb kami meliputi segala sesuatu.

Dia serahkan seluruh urusan mutlaq kepada Allah, Rabbnya..Dia memiliki hak membatalkan apa saja yang diandai-andaikan oleh sang thaghut untuk kembali kepada agama mereka serta dengan gagah mengumumkan kekokohan dirinya dan seluruh kaum mukminin untuk tidak kembali kepada agama mereka, sebuah pengumuman pengingkaran secara mutlaq di awal sikap perjuangan…Akan tetapi, dia tidak bisa memastikan sesuatu di hadapan masyi’ah Allah untuk diri dan kaumnya. Semua urusan itu diserahkan kepada masyi’ah-Nya. Dia dan orang-orang beriman yang bersamanya tidak mengetahui, sedangkan pengetahuan Rabbul ‘Alamin meliputi segala sesuatu. Hanya kepada ilmu dan masyi’ah Allah mereka berserah dan menyerah.”

Inilah rahasia agung kelahiran pahlawan-pahlawan tanpa tanding sepanjang sejarah kemanusiaan. Rahasia yang ditimbulkan oleh iman yang melebur dengan Nashr terhadap Allah. Dengan iman dan terjun ke kancah nashr yang menjadi konsekwensi iman itulah akan lahir pahlawan-pahlawan mulia sepanjang zaman hingga hari kiamat.

( AAS, 11/11/08 )

0 komentar

Posting Komentar