Arti Jahil

Diposting oleh AAS | 18.54 | | 0 komentar »

  1. Apakah arti jahiliyah dan bagaimana karekteristiknya

Jahiliyah berasal dari kata Ah Jahlu(arab)yang berarti bodoh. Ketika menerangkan arti bahasa dari Ah Jahlu, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

…………..(arab)

Ah Jahlu adalah tidak berilmu atau tidak mengetahui ilmu. Barangsiapa yang tidak mengetahui Al Haq (kebenaran) maka orang itu Jahil basith (sederhana) sedangkan jika berkeyakinan menyalahi Al Haq (kebenaran) maka orang itu Jahil Murakkab (bertingkat). Demikian pula orang yang beramal menyalahi Al Haq (kebenaran), maka diapun jahil., sekalipun dia mengetahui bahwa dirinya menyalahi kebenaran”

(­­baca : KitabIqtiha Ash Shirath Al Mustawim Mukhalifah Ashab Al Jahim, Tahqiq : Asy Syeikh Muhammad Hamid Al Faqi, Hal : 77 – 78)

Dr Shalih bin fauzan Al Mustaqim mengatakan bahwa jahiliyyah itu adalah:

“Kondisi yang dialami bangsa Arab sebelum Islam berupa kejahilan kepada Alloh, Rasul-rasul-Nya, Syariat Ad Dien, berbangga-bangga dengan keturunan, takabur, sombong dan lain-lain yang dikaitkan dengan kejahilan yang berarti tidak berilmu atau tidak mengikuti ilmu”

Dari perkataan beliau Jahiliyyah dapat dikaitkan dari 2 sisi yaitu :

  1. Sisi masa / zaman yaitu kondisi bangsa Arab pra Islam tentu saja jika demikian masa ini telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah Saw. akan tetapi, perlu dipahami bahwa masa atau zaman mengandung karakteristik atau peristiwa yang terkandung di dalamnya yang bisa menjadi ukuran bagi zaman atau masa yang lain. Untuk itu sisi Jahiliyyah yang kedua adalah :
  2. Sisi karakteristik (Sifat-sifat atau peristiwa yang terjadi didalamnya). Sisi ini tidak akan berakhir dengan berakhirnya bangsa Arab atau setelah diutusnya Rasulullah Saw, karena dia bisa terjadi dan dapat dimiliki oleh zaman manapun, bisa terjadi dan dapat dimiliki oleh bangsa manapun atau pribadi manapun atau pribadi manapun, termasuk siapa saja diantara kita yang mengaku muslim.

Sisi karakteristik inilah yang dijelaskan oleh Muhammad Qutb rahimahullah tentang arti Jahiliyyah dalam Al-Qur’an Al Karim. Beliau mengungkapkan “Di dalam Al-Qur’an Al Karim lafadz Jahiliyyah memiliki makna khusus atau secara hakiki memiliki 2 makna terbatas yaitu :

Arab…….

  1. Jahil terhadap hakekat dan karakteristik Uluhiyyah, dan
  2. Bersikap hidup tanpa memiliki ikatan Rabbani atau dengan kata lain tidak mengikuti ajaran yang diturunkan oleh Alloh.

Kata-kata Dr.Shalih Fauzan “kejahilan kepada Alloh…” hingga akhirnya merupakan gambaran karakteristik Jahiliyyah yang tidak lepas dari 2 unsur pokok yang disebutkan oleh Muhammad Quthb tersebut. Terlebih lagi beliau memberikan sejumlah bukti dalam Al-Qur’an dan As Sunnah yang menjelaskan hal itu, di antaranya beliau mengutip firman Alloh SWT :

“ Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang telah menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagiamana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)”. Musa menjawab “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang jahil (terhadap sifat-sifat Alloh)”. (Qs. Al ‘Araf :138).

Jahil yang dimaksud dalam ayat ini adalah tidak mengetahui hakekat Uluhiyyah. Karena, seandainya mereka mengetahui bahwa Alloh Ta’ala (tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata) (Qs. Al An’am :103), (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia) (Qs. As Syura :11), (Pencipta segala sesuatu) (Qs. Al An’am : 102) dan bukan makhluk serta sifat-Nya tidak serupa dengan sifat makhluk-Nya, niscaya mereka tidak meminta hal tersebut yang menandakan kejahilan mereka terhadap hakekat Uluhiyyah.

Sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Alloh seperti sangkaan jahiliyyah. Mereka berkata: “Apakah ada kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini”.

Yang dicela oleh Alloh terhadap kelompok tersebut adalah aqidah tertentu (tashawwur mu’ayyam) yang berkaitan dengan hakekat Uluhiyyah. Yaitu aqidah mereka bahwa ada pihak lain yang ikut campurtangan bersama Alloh dalam segala urusan serta kejahilan (ketidaktahuan) mereka bahwa yang menyempurnakan perbuatan hanyalah kehendak dan aturan Alloh Yang Maha Esa.

“Yusuf berkata :”Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang jahil”. (Qs. Yusuf : 33).

Makna ayat ini berkaitan dengan sikap yang tidak diikat oleh ikatan Rabbani yaitu cenderung untuk (memenuhi keinginan) wanita, melanggar perintah Alloh dan terjerumus dalam urusan yang diharamkan Alloh. Itulah sesuatu yang oleh Yusuf ‘Alaihis Salam dikhawatirkan terjatuh ke dalamnya serta dimintakan perlindungannya kepada Alloh.

dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu”. (Qs. Al Ahzab : 33)

Makna ayat ini pun berkaitan dengan sikap hidup yang tidak diikat oleh ikatan Rabbani dan mengikuti aturan yang tidak diturunkan Alloh seperti wajibnya menjaga diri dan tidak menampakkan perhiasan wanita kecuali terhadap para mahramnya.

“Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Alloh bagi orang-orang yang yakin? (Qs. Al Maidah : 50).

(baca : kitab : “Ru’yah Islamiyyah Lii Ahwal Al ‘Alam Al Mu’ashri, Hal : 15 – 17)

2. Karakteristik inilah yang dapat saja terjadi pada perorangan atau suatu negara. Seorang yang tidak mengenal hakekat Uluhiyyah yang benar atau bersikap hidup tanpa ikatan Rabbani tentu disebut memiliki sifat Jahiliyyah, walaupun dia mengaku Islam. Begitu pula sebuah negara yang sistem hukum, norma dan tata nilainya bertentangan dengan hakekat Uluhiyyah atau tidak terikat dengan ikatan Rabbani dapat digolongkan sebagai negara Jahiliyyah, walaupun mayoritas penduduknya atau pemimpin kaum muslimin.

  1. Apakah hakekat Islam yang sesungguhnya ?

Al Islam (…….) yang memiliki akar kata dari (……) dalam bahasa Arab setidaknya mengandung tiga makna seperti di bawah ini :

o (arab………….) (bebas dan bersih dari penyakit lahir dan bathin)

o (………………) (damai dan tentram)

o (………………) (ta’at dan patuh)

(Ruuh Ad Dien Al Islaamy, Afif Abdul Fattah Thabbarah, hal : 13)

Dalam Al Qur’an kalimat Al Islam paling tidak menggambarkan 4 pemahaman yang amat penting :

1. Islam kontradiktif sebuah kesyirikan

Alloh berfirman :

“..katakanlah : Sesungguhnya aku diperintahkan agar aku menjadi yang pertama kali Islam dan jangan sekali-kali kalian masuk golongan orang-orang musyrik(Qs. Al An’am : 14)

2. Islam kontradiktif sebuah kekufuran

Alloh berfirman :

“…apakah (patut) dia menyuruh kalian berbuat kekafiran di waktu kalian sudah Islam(Qs. Al Imran : 80)

3. Islam bermakna kepada Alloh

Alloh berfirman :

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Alloh..” (Qs. An Nisaa : 125)

4. Islam bermakna Al Khudlu dan Al Inqiyadh (Ketundukan dan kepatuhan)

Alloh berfirman :

“Dan kembalilah kepada Rabb kalian dan berserah diri / tunduk dan patuhlah kepadanya…” (Qs. Az Zumar : 54)

(Ibid, hal : 14)

Jika, dilihat dari asal maknanya, baik menurut bahasa maupun menurut apa yang dipahami di dalam Al Qur’an, maka Islam- sebagaimana yang dinyatakan oleh Dr. Shalah Ash Shawy – adalah :

Penyerahan diri secara mutlak kepada Alloh serta tunduk dan patuh dengan hidayat yang diturunkan kepada rasul-Nya”

(Tahkiim Asy Syari’at wa Da’aawi Al ‘Ilmaaniyah. Dr. Shalah Ash Shawi, Dar Ath Thayyibah, Riyadh. Cet. I tahun 1412 H. Hal : 23)

Makna Islam tersebut berarti mengandung 2 asas utama, yaitu :

1. Penyerahan diri secara mutlak kepada Alloh, serta

2. Tunduk dan patuh kepada syari’at yang dibawa oleh para rasul-Nya.

Muhammad bin Abdul Wahhab menambahkan asas makna Islam ini mejadi tiga yang diistilahkannya dengan tauhid, ta’at dan bara’ah dari syirik. Dia berkata :

Islam adalah berserah diri kepada Alloh dengan tauhid, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan keta’atan serta membebaskan diri (bara’ah) dari syirik”.

(Al Ushul Ats Tsalatsah, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal : 46)

Asas ketiga yang menjadi tambahan dari dua asas sebelumnya itu adalah :

3. Membebaskan diri dari berbagai bentuk kesyirikan (Al Bara’ah min Asy Syirik)

Dari sini dapat kita ketahui bahwa Islam terkait dengan 2 hal, prinsip dan tujuan hidup serta perbuatan dan sikap hidup. Prinsip dan tujuan hidup adalah tauhid yang tidak bercampur dengan syirik serta perbuatan dan sikap hidup yang ta’at kepada Alloh dengan ketundukan pada aturan-Nya yang diturunkan kepada para utusan-Nya. Kedua unsur inilah yang terkandung dalam 2 kalimat thayyibah aau 2 kalimat syahadat (persaksian), yaitu :

1) Syahadat tidak ada ilaah kecuali Alloh (……….) yang berarti hidup dengan prinsip dan tujuan tauhid. Dimana konswekensinya berarti membebaskan diri dari seluruh prinsip dan tujuan yang berbentuk syirik, yang dilambangkan dengan peribadatan / pengabdian kepada Thagut, Jibt, Andaad, Arbaab dan Aalihah dengan seluruh aksesoris dan subtansinya

(baca : [Qs 2 : 22; 165; 256 & 257], [Qs. 4 : 51; 60 & 76], [Qs. 5 : 60], [Qs. 16 : 36], [Qs. 39 : 17], [Qs. 9 : 31], [Qs. 3 : 64 & 80], [Qs. 12: 39], [Qs. 14 : 30], [Qs. 34 : 33], [Qs. 39 : 8], [Qs. 41 : 9])

2) Syahadat bahwa Muhammad adalah Rasul (utusan) Alloh. (……………..) yang berarti berbuat dan bersikap hidup dengan sunnah. Dimana konsekwensinya berarti membebaskan diri dari seluruh bentuk perbuatan dan sikap hidup bid’ah, yang dilambangkan dengan hidup hanya sesuai dengan akal, rasa, mimpi, khurafat, takhayyul, kontrak sosial dan atau hidup dengan aksesoris dan subtansi non Ittiba’ Rasul serta masyarakat Islami (para shahabat) di masa beliau.

(baca : [Qs. 2 : 129 & 151], [Qs. 3 : 164 & 179], [Qs. 4 : 13-14, 59-65, & 80], [Qs. 7 : 85], [Qs. 33 : 36], [Qs. 59 : 36], [Qs. 62 : 2]

C. Bagaimana Hakekat Islam sebagai Ad Dien ?

Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata :

“Ad Dien (…) adalah mashdar, dan mashdar disandarkan kepada fa’il (subjek) dan maf’ul (objek). Dalam bahasa Arab dikatakan (…) (Si fulan berdien kepada si fulan) jika dia mengabdi dan menta’atinya. Begitu pula dikatakan : (…) jika dia merendahkannya (……) (seorang hamba berdien kepada Alloh) jika dia mengabdi dan menta’ati-Nya. Jika, Ad Dien disandarkan kepada seorang hamba, maka berarti dia orang yang mengabdi dan menta’ati, sedangkan jika disandarkan kepada Alloh, maka berarti Dia Zat Yang diabdi dan dita’ati”.

(baca : Kitab “Majmu Fatawa” : 15/159)

Atas dasar tersebut, barangsiapa yang memasukkan diri dalam keta’taan kepada Alloh Yang Maha Esa dan ketundukkan diri terhadap hukum-hukum dan undang-undang-Nya serta mengikuti wahyu yang diturunkan kepada-Nya, maka berarti dia telah masuk dalam Dien Alloh, yaitu Islam serta menjadi abdi Alloh Yang Maha Esa. Selanjutnya, barangsiapa yang berpaling dari keta’atan Alloh Swt, hukum-hukum selain-Nya sekalipun dalam salah satu bagiannya – maka berarti dia telah masuk dalam dien Alloh dan pengabdi selain Alloh, sekalipun secara lisan beribu kali mengaku diennya adalah Islam. Alloh Swt berfirman :

“Dan berperanglah mereka, supaya jangan ada fitnah ada supaya dien itu semata-mata untuk Alloh. Jika mereka berhenti dan (dari kekafiran), maka sesungguhnya Alloh Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Al Anfal : 39)

Ibnu Taimiyah rahimahulloh mengatakan :

Ad Dien adalah keta’atan. Jika sebagian Ad Dien (keta’atan) itu milik Alloh dan sebagian lainnya kepada selain Alloh, maka dia wajib diperangi hingga seluruh Ad Dien (keta’atan) milik Alloh”. (lihat : Kitab “Majmu Fatawa” : 28 / 544)

Ibnu Jarir Ath Thabari ketika mentafsirkan (dan supaya dien itu semata-mata untuk Alloh) mengatakan :

Supaya seluruh keta’atan dan pengabdian hanya milik Alloh murni, tanpa disekutukan dengan selain-Nya dan kata “fitnah” ditafsirkan dengan kesyirikan”.

(baca : Tafsir Ath Thabari)

Berdasarkan makna-makna Ad Dien memiliki 2 arti pokok, yaitu :

1. Hukum peradilan, undang-undang dan ‘urf (tradisi rakyat)

2. Keta’atan, pengikutan, kepatuhan, ketundukan dan penyerahan diri pada kedaulatan tertinggi yang memiliki wewenang

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Alloh, jika kamu beriman kepada Alloh, dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (Qs. An Nuur : 2)

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Alloh ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Alloh di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah ,menganiaya diri dalam bulan yang empat itu dan perangilah musyirikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semua; dan ketahuilah bahwasanya Alloh berserta orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. At Taubah: 36)

“ Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudarnya sendiri, kemudian mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Alloh menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki: dan diatas tiap-tiap orang yang bepengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui “. (Qs. Yusuf : 76)

“Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya. Dan kalau Alloh menghendaki niscaya mereka tidak mengerjakan, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Qs. Al An’am : 137)

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Alloh yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Alloh. Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Alloh) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang sangat pedih.” (Qs. As Syuuraa : 21)

“Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku” (Qs. Al Kafirun : 6)

Setelah menyebutkan ayat-ayat di atas, maka Al Maududi mengatakan :

Yang dimaksud dengan Ad Dien di dalam seluruh ayat tersebut adalah Al Qanun(Undang-undang), Hudud, Syari’at, Tahriqat (metode) serta nidzam berfikir dan amal yang mengikat manusia. Jika kedaulatan yang ditekankan untuk para pengikutnya adalah undang-undang atau sistem kedaulatan Alloh, maka tidak diragukan lagi bahwa itulah dienulloh. Sedangkan jika kedaulatan tersebut adalah kedaulatan seorang penguasa maka orang itu berada dalam dien penguasa tersebut. Jika dia menganut kedaulatan para syeikh atau tokoh agama, maka dia penganut dien mereka. Demikian pula jika kedaulatan tersebut adalah kedaulatan suku, marga, atau mayoritas umat, maka orang tersebut berarti penganut dien mereka.”

(baca : Al Kitab Al Qayyim Al Mushthalahat Al Arba’ah Fi Al Qur’an : 125)

Dari uraian tersebut dapat dismpulkan :

Dien Islam adalah hukum, undang-undang, tata nilai dan konsep hidup yang berasal dari Alloh melalui wahyu yang diturunkan kepada para Rasul-Nya untul dijadikan kedaulatan tertinggi dalam kehidupan manusia yang wajib dita’ati, diikuti, dipatuhi di mana seluruh kehidupan manusia dengan seluruh aspeknya tunduk dan menyerah padanya”.

Untuk itu Syeikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahulloh mengatakan :

Islam dengan makna umum berarti mengabdi kepada Alloh dengan apa saja yang diundang-undangkan-Nya, sejak Dia mengutus para rasul-Nya hingga hari kiamat. Banyak sekali ayat-ayat Alloh yang menunjukkan bahwa seluruh syari’at terdahulu adalah Islam kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. Alloh Ta’la berfirman tentang Ibrahim :

“Ya Rabb kami,jadikanlah kami berdua orang yang Islam (tunduk dan patuh) kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara cucu-cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Baqarah : 128)

Sedangkan Islam dengan makna khusus setelah diutusnya Muhammad Saw adalah wahyu yang dibawa oleh Muhammad Saw, karena wahyu yang disampaikan beliau membatalkan dien-dien yang telah lalu, sehingga orang yang mengikutinya adalah seorang muslim, sedangkan orang yang menyelisihinya adalah orang yang kafir. Pengikut-pengikut para rasul adalah muslim pada zaman rasul-rasul mereka. Yahudi adalah muslim di zaman Musa ‘Alaihi Salam dan Nashrani pun muslim di zaman Isa ‘Alaihi Salam. Sedangkan setelah diutusnya Muhammad Saw, mereka menjadi kafir bukan lagi muslim.

(baca : Kitab “Syarah Tsalats Al Ushul” : 20-21)


AAS (08/01/09)



0 komentar

Posting Komentar