KONSUMSI KEBOHONGAN

Diposting oleh AAS | 18.21 | 0 komentar »

Liputan6.com

24:10:08

Nepotisme, Belajarlah dari Sejarah

Usman bin Affan adalah khalifah Islam ketiga pasca-kenabian, yang tergolong mempunyai jasa sangat besar terhadap kelangsungan ajaran Muhammad SAW. Ia terpilih sebagai Khalifah, melalui majelis para sahabat yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf. Masa pemerintahannya berlangsung sekitar 12 tahun, antara tahun 574-586 Masehi. Sebelum menjadi khalifah, Usman dikenal sebagai saudagar yang kaya raya dan dermawan. Syahdan, ia pernah menyumbangkan 940 ekor unta, 60 ekor kuda dan 10 ribu dinar kekayaannya, untuk kepentingan syi’ar Islam. Ini belum termasuk sumbangan-sumbangan lainnya yang jumlahnya sangat besar.
Kedermawanan Usman terus berlangsung hingga ia menjabat Khalifah. Ia hibahkan sebagian besar kekayaannya ke kas negara (Baitul Mal) untuk membantu menyejahterakan rakyatnya. Sementara ia sendiri hidup teramat sederhana. Sehari-harinya konon hanya mengonsumsi roti campur minyak samin dan cuka. Pakaiannya terbuat dari kain kasar yang harganya hanya lima dirham. Sang Khalifah yang kaya-raya ini memilih mengonsentrasikan diri untuk memimpin proyek penyusunan mushaf Al-Quran, selama enam tahun pertama masa pemerintahannya. Ayat-ayat suci Al-Quran, yang semula tecerai-berai di berbagai tempat, dihimpun dan disusun secara sistematis, hingga menghasilkan Mushaf Usmani, kitab suci yang hingga kini menjadi pegangan kaum Muslimin.
Tetapi masa pemerintahan Usman bin Affan yang semula harum itu, berakhir tragis. Enam tahun kedua masa pemerintahannya diwarnai dengan berbagai pemberontakan, yang berakhir dengan terbunuhnya Sang Khalifah. Tragedi ini berawal dari kecenderungan Usman yang sangat nepotis. Pejabat-pejabat tinggi negara yang diangkatnya, umumnya adalah anggota keluarga, kerabat dan sahabat dekat Khalifah. Diawali dengan pengangkatan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, sepupunya, menjadi Gubernur Mesir. Belakangan, Mu’awiyah tercatat sebagai pendiri dinasti Bani Umayyah.
Praktek nepotisme yang ”dirintis” Usman bin Affan inilah yang selanjutnya membuat dunia Islam terpecah-belah, baik secara politik maupun ideologi. Kekuasaan Islam berpindah-pindah tangan dari satu dinasti ke dinasti lainnya. Sehingga selain Bani Umayyah, kita juga mengenal dinasti Abbassiyah, Hasyimiyah, Fathimiyah, hingga Usmaniyah. Dan, dari segi ideologi, di akhir pemerintahan Usman bin Affan pulalah, perseteruan antara Sunni (Ahli Sunnah Waljama’ah) dengan Syi’ah (pengikut Ali bin Abi Thalib) bermula.
Perseteruan antara Sunni dengan Syi’ah, berawal dari pembangkangan Gubernur Mesir, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang tidak mau mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (khalifah keempat dan terakhir Khulafaur Rasyidin, pengganti Usman bin Affan). Mu’awiyah, yang merupakan kerabat dekat Usman bin Affan itu, mendaulat dirinya sendiri menjadi Khalifah, dan menyatakan perang terhadap Ali bin Abi Thalib. Keluarga Ali dikejar-kejar, hingga kemudian dibantai di Padang Karbala, Irak, oleh Yazid bin Mu’awiyah.
Cuplikan sejarah Khulafaur Rasyidin ini saya cuplik, untuk sekadar mengingatkan bahwa praktik nepotisme yang keterlaluan, bisa berakibat fatal dan bahkan bisa membuat sejarah suatu bangsa dipenuhi lembaran-lembaran hitam di hari kemudian. Celakanya, praktik nepotisme ini justru semakin marak di dunia perpolitikan Indonesia sekarang. Amanat reformasi, yang di antaranya berupa upaya pemberantasan nepotisme (di samping korupsi dan kolusi) tampaknya kandas di tengah jalan.
Bukan rahasia lagi bahwa tak sedikit nama calon anggota legislatif untuk Pemilu 2009, mempunyai kaitan keluarga, kerabat, atau sahabat dekat dengan para pimpinan partai, dan bahkan dengan para pejabat tinggi negara. Itu di tingkat pusat. Begitu pula di daerah. Sebagai contoh, ada sebuah kabupaten yang bertetangga dekat dengan Jakarta, yang bupati dan ketua DPRD-nya adalah bapak dan anak.
Alasan umum yang kemudian muncul untuk menjustifikasi praktik nepotisme ini adalah, bahwa semua itu telah berjalan sesuai prosedur, sesuai mekanisme pengkaderan, dan sudah melalui seleksi yang sangat ketat. Bahkan ada yang menepisnya dengan mengatakan bahwa nepotisme di dunia politik juga terjadi di negara lain. Di Amerika Serikat misalnya, ada dinasti Bush, dinasti Clinton, dinasti Kennedy. Bahwa Fidel Castro, pemimpin Kuba, juga mempunyai putra mahkota bernama Raul Castro, anaknya. Dan, Kim Il Sung, pemimpin Korea Utara, digantikan putranya, Kim Jong Il.
Sesederhanakah itu menyikapinya? Apakah contoh-contoh di negara lain itu sama dan sebangun dengan kondisi perpolitikan Indonesia? Saya tidak akan berkomentar lebih jauh. Saya hanya ingin, sekali lagi, mengingatkan betapa sejarah Islam telah memberikan pelajaran yang sangat berharga, dalam perkara nepotisme ini. Kecelakaan sejarah yang terjadi pada masa Khalifah Usman bin Affan, telah membuat kaum Muslimin tidak pernah bisa bersatu hingga kini. Walaupun memang, ada hikmah lain yang muncul dari balik tragedi itu. Yakni, semakin beragamnya dunia Islam, baik dalam segi politik maupun ideologi. Penuh warna-warni, seperti pelangi.

Billy Soemawisastra
Kepala Pendidikan dan Pelatihan Liputan 6

Renungkanlah wahai saudara/i ku….

Sebagai anak bangsa yang terpelajar alangkah tidak santun jika setiap informasi yang datang kita telan sebagai barang dagangan murahan yang tidak berharga, bahkan menyesatkan..

Seharusnya kita ingat Firman Alloh Swt tentang selektifitas berita yang disampaikan oleh pihak lain (Kecuali kita bagian dari orang non Islam, itu sangat pantas) :

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu. (QS. 49:6)

Di dalam ayat ini, Alloh Swt Yang Maha Mulia mengajarkan bahwa selektifitas berita dengan tingkat akurasi yang maksimal merupakan kewajiban seorang yang beriman, bukan asal telan atau tanpa analisa berita. Dalam ayat yang mulia inipun diterangkan bahwa dampak negatif utama dari keteledoran kita dalam menerima dan menyampaikan berita akan menimbulkan dua bahaya penting :

1. Munculnya bahaya pembohongan publik dan pendzaliman pihak yang menjadi obyek berita. (Tusibu qoumam bijahalah).

2. Jika kita tahu akibat sebuah kebohongan, baik yang akan menimpa kita atau yang akan menimpa orang yang menjadi obyek berita, suatu saat jika kita tahu bahwa berita yang kita sampaikan dusta kita akan mengalami penyesalan yang amat dalam (Fatusbihu ala ma fa`altum nadimin).

Saudara/i ku…

Berita yang saya cuplik dari tulisan yang dimuat dalam Liputan6.com di atas sesuatu yang amat tidak layak dan tidak pantas. Pertama, karena seharusnya sebagai salah satu media yang berasaskan keakuratan berita, para penulis di Liputan6.com harus selektif maksimal dalam menganalisa berita yang akan dimuat. Kedua, karena penterjemahan tentang bantahan berita kasus Utsman bin Affan yang dituduh nepotisme sudah begitu banyak dan merebak, sehingga tuduhan itu sudah dinilai basi. Apalagi tentang propaganda syi`ah yang mengatakan bahwa Mu`awiyah bin Abi Sufyan rda membangkang tidak mengakui kekhilafahan Ali bin Tolib rda, sungguh suatu berita palsu yang didongeng-dongengkan.

Marilah kita renungkan pernyataan dari salah seorang guru besar bidang sejarah di Universitas Muhammad Al Khamis Magrib, Muhammad Amhazun dalam sebuah desertasi Doktor-nya (Tahqiq Mawaqif Ash Shohabah Fi Al Fitnah Min Riwayat Al Imam Ath Thobari wa Al Muhadditsin):

“2.2.1 Tuduhan Nepotisme

Utsman r.a dituduh mengutamakan keluarganya, dengan menyerahkan kekuasaan (al-wilayat) kepada mereka dan mencopot tokoh-tokoh sahabat dari jabatan itu. Sebagai pengganti mereka, ia mengangkat anak-anak muda, memberi mereka uang, memulangkan pamannya (Hakam) dari pengasingan, setelah Nabi saw mengasingkannya. Utsman dituduh memberi Marwan zakat sebesar 100.000 dirham. Juga memberi Ibnu Abi Sarah sebesar seperlima dari hasil ghanimah dari Afrika.

Telaah kritis :

Adapun tuduhan tentang memberhentikan tokoh-tokoh sahabat dan mengganti mereka dengan orang dari pihak keluarganya yang lebih rendah, level dan keutamaannya, semisal Sa’id Ibn al-Ash, Abdullah Ibn Amir, Ibnu Abi Sarah dan Mua’wiyah, sebenarnya tindakan itu bukanlah mengada-adakan dan tak beralasan. Secara politik pun kebijakan itu bisa dibenarkan. Dalam sejarah kekuasaan Nabi saw, dua sahabat besarnya Abu Bakr dan Umar, terdapat hal serupa yang dapat membantah tuduhan tersebut.

Disebutkan di dalam kitab-kitab shahih bahwa Rasul saw memgangkat Amru Ibn al-Ash sebagai komandan pasukan dalam perang “Zat al-Salsasil”. Diantara prajurit itu terdapat Abu Bakr dan Umar ra. Lantas Amru bertanya kepada Nabi saw :”Siapakah orang yang paling anda cintai”? Ia menjawab :”Aisyah. Ia bertanya lagi : “Dari kaum lelaki”? Nabi menjawab : “Ayahnya”. Ia berkata :”Setelah itu”? Jawabnya : Umar. Kemudian Nabi menyebut sejumlah nama dan tidak tersebut nama Amru

Dan pernah Nabi saw menolak Abu Dzar ra dan tidak memberinya wewenang, karena diketahuinya bahwa Abu Dzar tidak sanggup memikul tugas-tugas pemerintahan. Sambil berucap:” Wahai Abu Dzar! Kulihat engkau lemah. Aku menyukai (yang terbaik) untukmu seperti yang kusukai untuk diriku. Janganlah kamu memimpin dua orang dan jangan pula mengurusi harta anak yatim.”

Padahal Abu Dzar mempunyai kedudukan yang terhormat dan persahabatan yang kuat dengan Nabi saw, seperti yang dapat dipahami dari ucapan Beliau saw: Tidak seorang pun yang dipikul dan oleh bumi dan dinanungi oleh pohon, yang lebih jujur dari pada Abu Dzar”.

Abu Bakr menolak untuk mencopot Khalid dari jabatannya meskipun Umar telah mendesaknya dengan alasan bahwa Khalid adalah kuat dan ahli memenej tentara. Ia mengatakan “Saya tidak akan menyarungkan pedang yang terhunus dalam memerangi kaum kafir”. Meskipun ia tahu bahwa masih banyak sahabat lain yang keutamaannya melebihi Khalid tetapi mereka tidak punya keahlian dan kehebatan seperti Khalid dalam menata militer.

Umar ra sendiri mengangkat seorang sahabat dan meninggalkan yang lainnya meskipun ada yang lebih utama kedudukannya, dengan memperhitungkan kemampuan, kekuatan dan kecakapannya dalam politik. Dia pernah ditanya seseorang; mengapa engaku tidak mengangkat sahabat-sahabat Rasulullah saw yang senior, ia menjawab; Sesungguhnya aku tidak segan-segan untuk tidak mengangkat seseorang menduduki suatu jabatan jika ada orang lain yang lebih kuat darinya. Dalam suatu riwayat diterangkan bahwa; Seandainya aku tahu bahwa ada orang yang lebih kuat dari saya dalam mengatur rakyat niscaya alu lebih suka datang padanya dengan menyerahkan kepalaku untuk dipenggal daripada aku memimpin.

Rasulullah saw para Khalifah setelahnya adalah orang-orang yang pertama memegang sebuah prinsip: Seorang bertakwa, tapi lemah, maka ketakwaannya untuk dirinya dan kelemahannya untuk kekhilafahannya, sementara orang kuat tapi berdosa (fajir) kekuatannya untuk kekhilafahannya sedang dosanya untuk dirinya sendiri. Seorang bertakwa tapi lemah, maka ketakwaannya untuk dirinya dan kelemahannya untuk umat Islam sdangkan orang kuat tapi berdosa (fajir), maka kekuatannya untuk umat Islam dan dosanya untuk dirinya.

Dalam gambaran kehidupan diatas, Utsman ra berjalan seperti Rasulullah saw dan para pendahulunya. Seluruh umat Islam sepakat bahwa perjalanan politik Rasulullah saw dan para Khalifah sesudahnya adalah sangat adil dan bijaksana. Kemudian kesalahan apa yang akan dituduhkan kepada Utsman ra bila ia berjalan seperti mereka. Bukanlah ia mencontoh Rasulullah saw dan para sahabatnya? Ia dengan tegas mengatakan saat di bai’at menjadi khalifah:”Sesungguhnya aku adalah pengikut bukan pencetus”, bukanlah ia berhak dalam memimpin dan menjabat kekhilafahan yang agung seperti dua pendahulunya Abu Bakr dan Umar ra! Apa arti sebuah kekuasaan bila ia tidak punya wewenang dalam mengangkat dan menurunkan seseorang sesuai dengan itjihadnya dengan pertimbangan kemashlatan dari hasil itjihadnya, hal ini tidak dapat dipahami oleh orang-orang yang bodoh.

Hal yang aneh adalah tuduhan nepotisme yang dituduhkan kepada Utsman karena ia mengangkat kerabatnya, tetapi ketika Ali mengangkat para kerabatnya tidak seorang pun mengkritiknya seperti pengangkatan Abdullah Ibn Abbas sebagai gubernur Basrah, Ubaidillah Ibn Abbas menjadi gubernur Yaman, Qutstsam Ibn Abbas menjadi gubernur Makkah dan Thaif, dan gubernur Mesir adalah anak asuhnya Muhammad Ibn Abu Bakr, Tsumamah Ibn Abbas sebagai gubernur Madinah.

Dalam masalah ini Ibn Taimiyah berkata : Jika permasalahnnya demikian jelaslah kebenaran Utsman ra ketika ia berkata : Sesungguhnya Bani Umayah diangkat Rasulullah saw semasa hidupnya diangkat pula oleh khalifah sesudahnya seperti Abu Bakr dan Umar ra kita tidak menemukan suatu kabilah yang lebih banyak dijadikan pembantu oleh Rasulullah saw sebanyak keturunan Bani Abd Syams-Bani Umayah karena jumlah mereka banyak dan mereka adalah golongan teknokrat dan terhormat. Rasulullah saw dalam menegakkan kemuliaan Islam setelah delapan tahun penaklukan Mekkah telah mengangkat Attab Ibn Usaid Ibn Abu al-Ash, seorang pemuda yang berusia 20 tahun, Rasulullah saw juga mengangkat Abu Sufyan Ibn Harb Ibn Umaiyah, juga mengangkat Khalid Ibn Sa’id Ibn Sa’id Ibn al-Ash –pernah bersahabat dengan Nabi saw sebagai pengawas zakat kaum Mazhaj dan San’a di Yaman yang terus berlangsung hingga Rasulullah saw wafat. Beliau juga mengangkat Utsman Ibn Sa’id Ibn al-Ash menjadi pejabatnya untuk kawasan Taima, Khaibar dan desa Urainah, mengangkat Aban Ibn Sa’id Ibn al-Ash untuk memimpin pasukan perang, kemudian ia dipindahkan ke Bahrain setelah al-Ala al-Hadhrami hingga Rasulullah saw wafat, maka berkatalah Utsman ra “Aku tidak mengangkat seorang pun kecuali Rasulullah saw telah mengangkatnya terlebih dahulu baik dilihat dari segi kabilah, maupun jenisnya”. Demikian juga Abu Bakr dan Umar ra; Abu Bakr telah mengangkat Yazid Ibn Abu Sufyan Ibn Harb menjadi komandan dalam penaklukan Syam kemudian diangkat lagi oleh Umar ra, kemudian Umar mengangkat saudaranya Yazid yang bernama Mua’wiyah sebagai penggantinya, mutasi jabatan ini telah terkenal di kalangan ahli ilmu dengan periwayatan mutawatir.

Bisa dikatakan : Sesungguhnya reputasi yang telah dicapai pejabat-pejabat yang diangkat oleh Utsman dari keluarganya telah sampai pada kriteria kecakapan dan kemampuan dalam mengatur urusan pemerintahan. Allah telah membuka melalui tangan-tangan mereka berbagai wilayah yang sangat luas, mereka pun berlaku adil dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya dan sebagian diantara mereka juga telah ikut memegang jabatan penting di masa Abu Bakr dan Umar ra di antara mereka adalah :

1. Mu’awiyah Ibn Abu Sofyan ra di Syam

Beliau diangkat oleh Umar ra untuk menggantikan kedudukan saudaranya Yazid yang meninggal dalam penyakit epidemi thaun pada 18 H/639 M., kemudian ditetapkan menjadi gubernur (wali) untuk semua wilayah Syam, bahkan sebelum ia diangkat oleh Umar dan Utsman, Rasullah saw telah menugasinya sebagai sekretaris penulisan wahyu seperti diriwayatkan dalam shahih Muslim

Sejarah kehidupan Mu’awiyah ra dalam memimpin rakyatnya adalah sebaik-baik pemimpin yang begitu dicintai oleh rakyatnya. Dilaporkan dalam sebuah riwayat yang shahih dari Rasullullah saw bersabda:”Sebaik-baik pemimpin (penguasa) diantara kamu adalah orang yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu mendoakan ia dan ia mendoakanmu, sejelek-jelek pemimpin diantara kamu ialah orang yang kamu benci dan membenci kamu, kamu mencaci dan ia mencaci kamu.:

2. Abdullah Ibn Sa’ad Ibn Abu Sarh ra di Mesir

Ibn Hisyam berkata tentang beliau: “Abdullah adalah muslim yang baik, ia diangkat oleh Umar ra lalu diangkat Utsman ra”.

Ibn Hajar dari Ibn al-Barqi dalam Tarikhnya dari Laits Ibn Sa’ad berkata: Ibn Abu Sarh ditugaskan menjadi kepala wilayah Sha’id di Mesir pada zaamn Umar ra kemudian Utsman menyerahkan seluruh Mesir kepadanya, ia sangat dihormati di daerahnya. Telah memimpin tiga kali pertempuran di Afrika, Zat al-Shawari, dan Aswid.

Dalam memimpin wilayahnya ia menampilkan peran yang sangat bagus terutama sekali di bidang penaklukan di mana banyak sahabat yang ikut berperang di bawah benderanya, yaitu dalam perang di Afrika seperti: Abdullah Ibn Umar, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Zubair dan Abdullah Ibn Amr ra.

Imam al-Zahabi berkata : dia tidak melampaui batas dan tidak pernah berbuat jelek, dia juga sangat pandai dan mulia, al-Baghawi meriwayatkan dengan isnad yang shahih dari Yazid Ibn Abi Habib berkata: Ibn Abu Sarh pergi ke Ramlah, ketika tiba waktu subuh ia berkata: Ya Allah wafatkanlah aku pada waktu subuh lalu ia berwudlu, shalat kemudian mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri kemudian ia wafat, Imam al-Bukhari juga meriwayatkan seperi itu.

3. Al-Walid Ibn Uqbah ra di Kufah

Salah seorang yang diangkat Abu Bakr untuk membantunya. Pada tahun 12 H/ 633 M, dia sebagai kurir antara khalifah dan Khalid Ibn Walid dalam menyampaikan surat-surat perang pada perang al-Madzar, kemudian setelah itu Abu Bakr menugasinya sebagai tentara di bawah panglimanya Iyadh Ibn Ghanam, kemudian Umar ra mengangkatnya sebagai pengawas zakat di Bani Taghlib. Ia juga pernah menjadi pegawai Umar untuk daerah Badui di Jazirah

Walid adalah seorang yang pemberani dan banyak ikut dalam berbagai petempuran, al-Sya’bi memujinya karena ketangkasannya dalam berperang dan memimpin, ia memujinya ketika ia diingatkan kepadanya perang Maslamah Ibn Abd al-Malik dengan mengatakan: Sekiranya anda tahu bagaimana peperangan dan kepemimpinan al-Walid, sungguh bila ia menyerang sampai menaklukkan ini dan itu, tidak ada kekurangan apapun dari pekerjaannya dan tak seorang pun yang mengkritiknya sampai ia diturunkan dari jabatannya”.

Al-Walid adalah pemimpin yang dicintai rakyatnya dan sangat lemah lembut terhadap sesamanya, selama lima tahun rumahnya tidak punya pintu.

Sedangkan tuduhan orang tentang al-Walid telah meminum khamar saat ia menjabat gubernur pada masa Utsman, kalau benar, itu berarti bukan kesalahan Utsman ra, tetapi cerita itu justru menunjukkan kelebihan (manaqib) Utsman ra, karena Utsman ra menghukum dan mencopot dari jabatannya. Peristiwa ini disebutkan juga oleh Imam al-Bukhari dalam bab manaqib Utsman.

Ali ra berkata : Mengapa kalian mencela Utsman ra ibarat orang menikam dirinya sendiri untuk membunuh penolongnya, apakah dosa Utsman ra terhadap seseorang yang bersalah telah ia beri hukuman atas perbuatannya. Apa salah Utsman ra terhadap kita!”.

Ibn Taimiyah berkata : “Ini merupakan keterangan yang jelas terhadap tindakan Utsman ra terhadap para bawahannya yang salah yang tidak pernah disangka orang, dan tidak bisa dituduhkan begitu saja terhadap Utsman atau yang lainnya.

Peristiwa itu bukan saja terjadi pada masa Utsman ra saja, tetapi itu juga terjadi pada masa Umar ra. Diterangkan bahwa Qudamah Ibn Mazh’un juga pernah meminum khamar dan ia gubernur Bahrain, kemudian ia dihukum dan dicopot dari jabatannya.

4. Sa’ad Ibn al-Ash

Ia diangkat oleh Utsman ra setelah Walid dicopot dari jabatannya, ia sangat fasih dari kaum Quraisy dantermasuk penulis Al-Quran, Ibn Abu Daud berkata dalam al-Mashahif sesungguhnay kearaban al-Quran telah ditegakkan oleh lisan Sa’id Ibn al-Ash, karena lahjahnya (dialeknya) yang hampir sama dengan Rasulullah saw.

Ketika ia menjabat sebagai gubernur Kufah ia menaklukan Tribistan, Jurjan, dalam pasukannya terdapat Huzaifah Ibn al-Yaman ra dan para sahabat lainnya.

Ia sangat terkenal dengan kedermawanan dan kemuliaannya, sampai-sampai apabila ada orang yang minta sedangkan ia tidak punya apa-apa untuk diberikan ia kemudian mencatat apa yang dimaui si peminta dengan beberapa baris. Ia juga memberi makan orang-orang di musim paceklik sehiongga habislah cadangan devisa yang ada di bait al-mal (bank sentral), Imam al-Zahabi berkata : ia adalah seorang pemimpin yang mulia, lemah lembut dan terpuji, cerdas dan sabar untuk menjabat khalifah dan jadi penguasa.

Tuduhan orang yang menolaknya bahwa ketika Sa’ad Ibn al-Ash diangkat menjadi gubernur di Kufah, penampilannya memicu penduduk Kufah untuk mengusirnya. Lebih tepat dikatakan sekedar tidak diterima oleh orang Kufah tetapi tidak berarti ia telah berbuat dosa sehingga ia harus diusir dari Kufah. Bagi orang yang paham tentang situasi di Kufah niscaya akan banyak tahu bahwa keluhan dan keberatan yang dilontarkan oleh penduduk Kufah mengenai pemimpin mereka tanpa alasan yang sah dan arena masalah yang sepele, bahkan Umar ra berkata: Yang sangat menggelisahkan dan menyita perhatianku adalah penduduk Kufah, karena mereka tidak rela dipimpin oleh seseorang dan tak ada pemimpin yang rela terhadap mereka. Mereka tidak cocok dengan siapapun dan tidak ada pemimpin yang cocok dengan mereka.

Dalam riwayat lain disebutkan : Saya sangat prihatin terhadap penduduk Kufah, jika kuangkat gubernur yang lunak/supel mereka menganggapnya enteng dan tidak menyeganinya, tetapi bila kuangkat yang keras mereka melapor dan mengeluh. Hingga Umar ra berdoa untuk orang Kufah; Ya Allah sesungguhnya orang Kufah telah menyusahkanku maka susahkanlah mereka.

5. Abdullah Ibn Amir Ibn Kurayyiz

Ia diangkat Utsman ra menjadi gubernur di Basrah, ia menaklukkan semua daerah Khurasan, pinggiran Parsi, Sajistan, Kirman dan daerah lainnya sampai daerah Gazna. Di bawah kepemimpinannya Yazdjir, raja Parsi terakhir, terbunuh.

Dialah yang membelah sungai Basrah, dia juga yang pertama membuat telaga di Arafat dan mangalirkan mata airnya, setelah itu ia adalah orang yang sangat dicintai dan disenangi semua orang tanpa ada yang mengingkarinya, seperti dikatakan Ibn Taimiyah.

Imam al-Zahabi berkata: Dia adalah termasuk pembesar pemimpin Arab yang berani, pemurah dan lemah serta penyayang.

Barangsiapa yang membaca buku-buku sejarah, akan melihat bahwa Utsman ra tidak mengangkat kerabatnya di semua daerah, tetapi hanya mengangkat lima orang tersebut di atas saja, kemudian mencopot dua orang darinya yaitu : al-Walid Ibn Uqbah dan Sa’id Ibn al-Ash –maka tinggal tiga orang saja dari delapan belas jumlah gubernur yang beliau angkat; Telah disebutkan di kitab Tarikhnya, Khalifah dan Imam al-Thabari dalam pembahasan “peristiwa yang terjadi tahun 24 H (654M) “, pembantu-pembantu Utsman ra dalam menjalankan roda pemerintahan adalah sebagai berikut:

Di Kufah Abu Musa al-Asy’ari dengan panglima perangnya al-Qa’qa Ibn Amr, pernah bersahabat dengan Nabi saw dan menteri keuangan Jair Ibn Amr al-Muzani; Di Basrah Abdullah Ibn Amir Ibn Abi Khurayyiz; Di Mesir Abdullah Ibn Sarah; Di Syam Mu’awiyah Ibn Abu Sofyan; Di Himsh Abd al-Rahman Ibn Khalid Ibn Walid; Di Qinnisrin Habib Ibn Maslamah; Di Jordan Abu al-A’war al-Sulami; (pernah bersahabat dengan Nabi saw). Di Palestina, Hakim Ibn Salamah; Di Azerbaijan al-Asy’ats Ibn Qais al-Kindi (pernah bersahabat dengan Nabi saw); Di Hulwan Utaibah Ibn al-Nahas; Di Mah, Malik Ibn Habib; Di Hamazan, al-Nusair al-Ijli; Di Isafahan, al-Sa’id Ibn al-Aqra; Di Ray, Sa’id Ibn Qais; Di al-Bab, Salman Ibn Rabi’ah dan di Masabadzan, Khunais Ibn Khubaisy.

Seandainya Utsman Ibn Affan ra lebih mengutamakan keluarganya daripada umat Islam maka ia pasti mengangkat terlebih dahulu anak angkatnya yaitu Muhammad Ibn Abu Huzaifah yang mungkin paling berhak diantara keluarganya, akan tetapi khalifah tidak memberikan jabatan apapun padanya karena ia tidak mampu, dengan perkataannya; Wahai anakku, seandainya aku rela kemudian kamu memintaku pekerjaan niscaya kau akan kuangkat, namun tempatmu bukan disana!

Itu bukan berarti karena khalifah benci padanya, atau menghindar darinya, sebab kalau tidak, niscaya ia tidak akan mempersiapkan dan memberikan padanya perbekalan ketika ia hendak izin keluar menuju Mesir.

۩۩۩۩۩

Adapun tuduhan memperkerjakan anak-anak muda, maka untuk ini sebenarnya; Utsman ra mengikuti jejak rasulullah saw yang menyiapkan tentara perang untuk menaklukkkan Romawi di akhir hayatnya dengan mengangkat Usamah Ibn Zaid yang usianya di bawah 20 tahun dan dipasukkannya masih banyak sahabat yang senior seperti Abu Bakr, Umar ra.

Setelah Rasulullah saw wafat, Abu Bakr ra tetap berpegang teguh untuk mengangkat Usamah Ibn Zaid sedangkan para sahabatnya lain ingin menggantinya dengan yang lebih tua darinya. Mereka memohon Umar agar mau menyampaikannya pada Abu Bakr, tetapi Abu Bakr marah ketika mendengar perkataan ini dengan berkata kepada Umar; Wahai Umar ia diangkat oleh Rasulullah saw sedangkan kamu menyuruhku untuk mencopotnya.

Utsman ra menjawab sendiri tuduhan ini di hadapan para pembesar sahabat. “Saya tidak pernah mengangkat seseorang kecuali dengan kesepakatan umat, sudah baligh, dan dicintai; Mereka yang saya angkat adalah ahli di bidangnya maka bertanyalah pada mereka. Mereka juga adalah penduduk asli negerinya. Sudah ada orang sebelum aku yang mengangkat orang yang lebih muda dari mereka, lalu mereka berkata kepada Rasulullah saw sebagimana mereka berkata kepadaku dalam pengangkatan Usamah oleh Nabi saw, bukankah begitu? Mereka menjawab; Ya, mereka mencela seseorang sedangkan mereka tidak tahu tujuan mengapa orang itu diangkat.

Ali ra berkata; Utsman tidak pernah mengangkat seseorang kecuali jika dia itu jujur dan adil. Sedangkan Rasulullah saw mengangkatnya Attab Ibn Usaid di Mekkah yang berusia 20 tahun.

Aisyah berkata; Sesungguhnya kaum perusuh dari berbagai wilayah, daerah pesisir dan para hamba dari penduduk Madinah telah berkumpul, mereka mencela khalifah yang terbunuh kemarin (Utsman) karena faktor kebutuhan dan karena mendudukan orang-orang yang usianya masih muda, sedangkan sebelumnya mereka mengangkat orang-orang senior mereka.

Singkat kata sesungguhnya keluarga Utsman ra telah memegang jabatan sejak masa Rasulullah saw, Abu Bakr dan Umar ra. Mereka semau mempunyai kemampuan dalam memimpin, cakap dan bijaksana; tidak sesuai dengan tuduhan orang yang mempunyai tendensi politik yang menghasut mereka, karena setiap perkataan orang harus diukur dengan barometer keadilan dan kejujuran.

Tepat sekali ungkapan seorang penyair mengatakan; “Mata yang senang tak dapat melihat cacat, tapi mata yang benci hanya melihat kekurangan orang

۩۩۩۩۩

Sedangkan perkataan orang yang menentang bahwa Utsman ra telah membagi-bagikan kepada para kerabatnya harta, jawaban yang tepat adalah riwayat hidup Utsman ra terhadap keluarga dan kerabatnya merupakan implementasi ajaran Islam yang mulia dan terpuji

Sesuai dengan firman Allah (Qs. Asy Syuro : 23) .dan (Qs. Aln Isro : 26) .sebagaimana perjalanan hidup Rasulullah saw.

Utsman ra telah melihat kehidupan Rasulullah saw dan mengetahui keadaan Beliau yang tidak diketahui oleh para penghujat Utsman ra dan ia mengetahui fiqh adan agama yang tidak diketahui oleh lainnya, ia juga mengetahui begitu sayangnya Rasulullah saw terhadap keluarganya, dan Rasulullah saw telah memberi pamannya Abbas yang belum diberikan kepada yang lainnya ketika datang harta dari Bahrain dan mengangkat Ali ra sepupu dan menantunya; Rasulullah saw adalah orang yang paling baik, dan diikuti oleh Utsman dan orang-orang mukmin lainnya.

Ibn Katsir berkata bahwa Utsman ra berakhlak mulia, pemalu dan ringan tangan mendahulukan keluarga dan kerabatnya dalam melaksanakan kewajibannya kepada Allah, menjaga perasaannya dari keserakahan dunia yang fana, dan lebih mengutamakan akherat; sebagaimana Rasulullah saw sebelumnya telah memberi suatu kaum dan meninggalkan yang lainnya karena telah ada di hati mereka hidayah dan keimanan, dengan perlakuan Rasulullah saw yang demikian ini telah ada yang ingkar beberapa kaum seperti sebagian kaum Khawarij terhadap Rasulullah saw.

Imam al-Bukhari telah meriwayatkan dari Jabir Ibn Abdullah ra berkata; ketika Rasulullah saw membagikan ghanimah di Ji’ranah seseorang bekata kepada Beliau saw; berlakulah adil maka Nabi saw bersabda; Celakalah engkau jika aku tidak berbuat adil.

Dalam riwayat yang lainnya dari Imam Muslim dari Abdullah Ibn Zaid ra berkata; seseorang berkata: Sesungguhnya pembagian ini tidak adil dan tidak menginginkan ridha Allah, maka aku berkata, “demi Allah aku sampaikan pada Nabi saw,”kemudian aku datang pada Nabi saw dan kukatakan apa yang dikatakan orang tadi, maka berubahlah wajah Beliau saw hingga pucat kemudian Beliau saw bersabda;” siapa yang berlaku adil jika Allah dan Rasul-Nya tidak adil”, kemudian berkata;”semoga Nabi Musa as diberikan rahmat Allah, ia telah disakiti lebih dari ini dan ia bersabar”.

Utsman ra pernah menyampaikan argumentasinya ketika berbicara dengan Majelis Syura tentang kebaikannya pada keluarganya. Ia mengatakan; “Aku akan mengabarkan kepada kamu semua tentang pelaksanaan kekhalifahanku. Sesungguhnya dua pendahuluku menyakiti diri dan kerabatnya sendiri, walaupun dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah. Rasulullah saw sendiri pun selalu memberikan sadaqah kepada para kerabatnya dan saya di tengah-tengah keluarga yang serba kekurangan, dan aku hamparkan tanganku untuk meringankan beban mereka, karena mereka tanggung jawabku dan jika kalian memandang ini salah maka tolaklah”.

Dari keterangan singkat ini Utsman menjelaskan hujjahnya mengapa ia mencintai kerabatnya, berbeda dengan dua pendahulunya yang bersikap ketat terhadap diri dan keluarganya karena mengharapkan ridha Allah. Perlu diketahui penolakan mereka itu adalah tingkatan yang lebih tinggi di atas kebenaran dan keadilan. Karena syariat Islam yang merupakan konstitusi umat Islam dan rujukannya, tidak satupun dalam teksnya yang mewajibkan seorang pemimpin dalam membina rakyatnya kecuali keadilan. Bilamana ia telah memberikan hak kepada yang berhak dan berlaku adil kepada warganya maka tidak ada salahnya jika pemimpin itu memberikan kepada yang dikehendakinya karena pertimbangan kemashlatan.

Dalam beberapa riwayat yang shahih dikatakan bahwa umat Islam telah dapat rezeki yang berlimpah ruah dan harta rampasan yang banyak di masa Utsman, berkatalah Hasan al-Bashri yang menyaksikan sendiri keadaan umat Islam di masa Utsman ra; aku mengetahui bahwa Utsman selalu dimusuhi orang-orang, padahal tiada hari tanpa ia memperlakukan mereka dengan baik, ia berkata kepada mereka; “Wahai umat Islam ambilah segera apa yang telah diberikan pada kalian dan mereka mengambilnya dalam jumlah yang banyak”. Di lain waktu ia berkata; “Ambilah lemak, madu pemberian itu terus mengalir, rezeki senantiasa datang, tetapi berhati-hatilah terhadap musuh, berbaiklah pada sanak kerabat, dan rezeki tak pernah kering”.

Kemudian Utsman menunjuk dalam suratnya bahwa keluarganya adalah kaum yang serba kekurangan dan papa, mereka itu butuh uluran tangannya. Ia melihat dalam masalah ini perbedaan antara keluarganya dengan sanak keluarga Abu Bakr dan Umar ra yang menurutnya, keluarganya lebih membutuhkan pertolongan dan uluran tangan. Ibn Taimiyah menjelaskan alasan itu dengan mengatakan;”Bahwa Kabilah Utsman adalah kabilah besar, tidak sperti kabilahnya Abu Bakr dan Umar ra, oleh karenanya keluarganya membutuhkan lebih banyak bantuan dan jatah kekuasaan daripada keluarga kedua khalifah pendahulunya, inilah argumentasi yang telah disebutkan Utsman.

Kemudian kalau kita amati sesungguhnya Utsman ra sebelum menjadi khalifah begitu baik terhadap keluarganya dan sering berkorban untuk mereka dan umat Islam, sampai ia berkata; Aku telah berikan pemberian yang sangat besar dari hartaku pada masa Rasulullah saw, masa Abu Bakr dan Umar ra sedangkan pada masa itu aku sangat pelit. Apakah ketika aku datang pada keluargaku di hari tuaku dan kutitipkan apa yang kumiliki untuk keluargaku lalu orang-orang mulhid berkata macam-macam.

Utsman ra berkata; “Kuhamparkan tanganku untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadaku” Dalam ungkapan ini tersirat makna bahwa ketika ia menjabat sebagai khalifah, ia mengurusi persoalan-persoalan umat Islam secara ikhlas tanpa minta imbalan atau gaji, berbeda dengan kedua pendahulunya yang mendapatkan gaji secukupnya untuk diri dan keluarganya dari baitul mal. Ini adalah persoalan itjihad dan interprestasi yang sah, karena seorang imam termasuk dalam kelompok amil terhadap baitul mal, sedangkan amil mempunyai hak, kendatipun ia seorang yang kaya.

Bahkan para fuqaha seperti al-Hasan dan Abu Tsaur berpendapat bahwa bagian zawi al-Qurba adalah untuk keluarga para imam.

Ibn Taimiyah berkata; ”Adapun tuduhan mereka terhadap Utsman ra mendahulukan keluarganya dengan harta yang sangat banyak dari al-bait mal hingga ia memberikan kepada empat orang dari Quraisy yang mengawini putrinya sebesar 400.000 dinar dan memberikan kepada Marwan satu juta dinar. Maka jawaban yang tepat, pertama adalah ; Adakah peristiwa yang shahih yang menerangkan itu?Benar beliau memberikan kepada kerabat dan orang-orang yang bukan kerabatnya juga, bahkan ia telah berbuat baik kepada seluruh umat Islam, namun jumlah yang begitu besar sangat membutuhkan periwayatan yang shahih. Jawaban yang kedua : itu adalah kebohongan yang sangat besar, sesungguhnya tidak akan mungkin Utsman ra ataupun al-Khulafa al-Rasyidun yang lainnya akan memberikan kepada seseorang dalam jumlah yang begitu besar.

۩۩۩۩۩

Seperti diceritakan para informan (ikhbari) dalam mencela Utsman ra bahwa ia telah mengembalikan pamannya, al-Hakam Ibn Abu al-Ash ke Mekkah padahal ia telah dibuang oleh Rasulullah saw dari Mekkah ke Tahif.

Seperti diketahui bahwa dalam ban fiqih jika Nabi saw telah menta’zir (menghukum) seseorang dengan hukuman pengasingan tidak berarti bahwa ia harus selamanya diasingkan, bahkan pengasingan itu harus dibatasi waktunya menurut ketentuan syari’ah. Bukan hukuman seumur hidup. Di sana masih terbuka pintu taubat yang dapat menghapus hukuman itu dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu.

Sudah diketahui secara pasti bahwa tidak mungkin Nabi saw menyuruh mengasingkan seseorang selama-lamanya. Kemudian oleh Utsman ra dikembalikan sebagai pembangkangan terhadap putusan Allah dan Rasul-Nya dan itu tidak ditentang oleh para sahabat. Apalagi bila diingat ketakwaan Utsman dan ketaatannya terhadap Allah dan Rasul-Nya, ia tidak mungkin berbuat seperti itu.

Permasalahannya adalah Utsman mengembalikan al-Hakam berdasarkan pada janji Rasulullah saw, maka Utsman meminta Abu Bakr ketika menjadi khalifah agar Hakam dikembalikan, namun Abu Bakr tidak bisa memenuhinya karena peraturan hukum Islam bahwa hukum tidak bisa dilaksanakan karena persaksian satu orang. Atas dasar metode fiqih ini Umar ra juga memutuskan hal yang sama pada masa kekhalifahannya seperti yang dilakukan Abu Bakr.

Ketika Utsman ra menjadi khalifah, ia mengambil keputusan sesuai dengan pengetahuannya dan putusan hukum dengan kemampuan pengetahuan hakim adalah pendapat yang diakui dalam fiqh Islam, dan memiliki landasan dalam ushul al-syariah. Ini merupakan pendapat sebagian imam fiqh mengenai hal tersebut, lebih lagi Utsman adalah pemimpin dan khalifah rasyid, yang sunnahnya termasuk dalam kategori sunnah Rasul saw dengan sabda beliau; “Hendaklah kamu mengikuti sunnahku dan sunnah para al-Khulafa al-Rasyidun setelahku yang mendapat petunjuk.

Dalam permaslahan ini Ibn al-Arabi berkata; masalah pengembalian al-Hakam tidaklah benar – apa yang dituduhkan oleh para penghujat bahwa Utsman ra telah menentang aturan syara’-dan ulama kita telah menjawab hal ini; Rasulullah saw telah mengizinkannya dan Utsman pernah menyampaikannya pada Abu Bakr dan Umar ra. Mereka menjawab; jika anda mempunyai saksi lainnya ia akan saya kembalikan, ketika Utsman menjabat khalifah ia memutuskan sesuai dengan pengetahuan yaitu mengembalikan al-Hakam, dan tidaklah Utsman itu menetang Rasulullah saw seandainya pun itu ayahnya sendiri dan ia tidak akan menentang hukum.

Sedangkan apa yang dituduhkan Utsman ra bahwa ia telah menyerahkan kepada Marwan Ibn Hakam tanah Fadak dan memberinya 100.000 dirham uang dari Afrika adalah kebohongan besar.

Fadak adalah desa kecil dekat kota Madinah adalah Harta Fa’I (hasil perang) yang dimiliki oleh Rasulullah saw, ia asli milik Rasulullah saw yang boleh dipakai oleh siapa saja. Setelah Rasulullah saw wafat dan pada masa Abu Bakr ra datanglah Fatimah al-Zahrah meminta tanah fadak sebagai warisan dari ayahnya, tetapi Abu Bakr ra menerangkan bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda:”Kami para nabi tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan merupakan sedekah”.

Ketika Umar ra menjabat khalifah, berselisih dengan Ali ra dan Abbas kepadanya- Abbas menilai bahwa fadak tersebut adalah milik Nabi saw dan dia adalah pewarisnya, sdangkan Ali ra menganggap itu adalah miliknya Fatimah, harta itu adalah pemberian yang khusus untuk dirinya dari ayahnya, maka Umar ra memutuskan dengan keuptusan yang tidak berbeda dengan Abu Bakr ra. Ia mengikuti perbuatan Rasulullah saw dan menyerahkan tanah tersebut kepada mereka berdua setelah mereka berjanji akan melaksanakan seperti apa yang dilaksanakan oleh Abu Bakr atas tanah itu.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Malik Ibn Aus berkata; ketika aku sedang duduk ditengah keluargaku pada siang hari, tiba-tiba datang utusan Umar ra kepadaku sambil berkata; Amir al-Mukminin mengundang anda, lalu aku keluar bersamanya menuju rumah Umar ra, ketika itu ia sedang duduk di atas ranjang pasir, di antara keduanya terdapat ranjang kasur dan ia bersandar pada bantal yang terbuat dari jerami, lalu kuucapkan salam kepadanya kemudian aku duduk. Lalu ia berkata; wahai Malik telah datang kepadaku Ahlu al-Bait dari kaummu dan kuperintahkan untuk memberi sesuatu yang cukup, maka laksanakan lah perintahku dengan membagi bagian tersebut pada mereka. Aku menjawab, wahai Amir al-Mukminin bagaimana kalau anda menyuruh selain aku. Umar ra menjawab: “Laksanakanlah wahai Malik”. Ketika aku duduk bersamanya tiba-tiba datanglah Yarfa pengawal pribadinya dengan berkata: “Apakah engakau mengizinkan masuk; Utsman, Abdurrahman Ibn Auf, Zubair, Sa’ad Ibn Abi Waqas? Ia menjawab “Ya”, maka ia mempersilahkan kepada mereka untuk masuk , mereka mengucapkan salam lalu duduk, kemudian duduklah Yarfa dengan perlahan sambil berkata;”Apakah engkau mengizinkan Ali dan Abbas untuk masuk? Maka ia menjawab:”Ya”, maka masuklah keduanya dengan mengucapkan salam lalu duduk. Berkatalah Abbas;”Wahai Amir al-Mukminin putuskanlah perkaraku dengan Ali ra (keduanya mempersengketakan fai’ Rasulullah saw dari bani Nadhir) maka berkatalah rombongan Utsman; Wahai Amir al-Mukminin berika keputusan kepada mereka berdua, senangkanlah salah satu pihak dari mereka. Berkatalah Umar ra; “Bersabarlah kalian, kuingatkan kalian kepada Allah, dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi. Apakah kamu mengetahui seseungguhnya Rasulullah saw bersabda; kami tidak memberikan warisan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah (maksudnya adalah Rasulullah saw sendiri)?”. Rombongan Utsman menjawab; benar. Rasulullah saw telah bersabda demikian, kemudian Umar ra menatap Ali ra dan Abbas sambil berkata: “Kuingatkan pada kalian berdua kepada Allah, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw telah bersabda seperti itu?” Mereka menjawab “Benar”, lalu Umar ra berkata “Sesungguhnya aku akan memutuskan perkara ini-sesungguhnya Allah telah memberikan kekhususan kepada Rasul-Nya tentang fai ini yang tidak diberikan kepada yang lainnya. Kemudian Umar ra membaca (Qs. 59 : 6-7) ayat ini menunjukkan bahwa fai’ ini khusus untuk Rasulullah saw. demi Allah beliau tidak memberikannya kepada selain kamu dan tidak mengutamakan orang lain selain kamu dari hasil tanah itu, dan Rasulullah saw telah memberikannya kepada kamu dan telah membagi-baginya untuk kamu. Rasulullah saw memberi nafkah untuk keluarganya dari hasil harta ini kemudian mengambil sisanya sebagai harta Allah, dan inilah yang diperbuat oleh Rasulullah saw mengenai harta fai’ itu selama hidupnya. Maka kuingatkan kepada kalian untuk berpegang teguhlah kepada Allah, apakah kamu mengetahui hal itu? Mereka menjawab :”Ya” kemudian Umar ra berkata kepada Ali dan Abbas: “Berpegang teguhlah kalian kepada Allah, apakah kalian mengatahui hal itu?” Umar ra selanjutnya berkata: “kemudian Rasulullah saw wafat, maka berkatalah Abu Bakr; Aku pengganti Rasulullah saw, maka Abu Bakr memegang tanah itu dan menjalankan seperti yang dijalankan Rasulullah saw, dan Allah mengetahui sesungguhnya ia orang yang jujur, baik hati, cerdas dan mengikuti yang benar, kemudian Abu Bakr meninggal, maka kupegang tanah itu selama 2 tahun sejak aku menjadi khalifah. Aku menjalankan seperti apa yang dilakukan Abu Bakr dan Rasulullah saw, dan Allah mengetahui dalam masalah yang ini aku berlaku jujur, mulia, cerdas dan berpegang teguh kepada kebenaran. Lalu kalian berdua datang kepadaku mengadukan perkara ini, engkau datang kepadaku, wahai Abbas, dengan memintaku memberikan bagian dari anak saudaramu, dan datang juga kepadaku (yaitu Ali) meminta bagian dari istrinya yakni warisan dari ayahnya, maka kukatakan kepada kalian berdua; Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda; “Kami tidak mewarisi oleh siapapun. Apa yang kami tinggalkan adalah menjadi sedekah”. Aku hendak memberikannya kepada kalian berdua, tetapi kutegaskan, “Jika kalian menginginkannya niscaya akan kuberikan kepada kalian dengan syarat kalian berjanji kepada Allah bahwa kalian akan menjalankan harta tersebut seperti yang dijalankan Rasulullah saw, Abu Bakr dan sepertiku. Lalu kalian mengatakan,”Berikanlah harta itu kepada kami maka dengan syarat tersebut harta itu kuberikan kepada kalian. Takutlah kalian kepada Allah. Apakah kuberikan harta tersebut kepada mereka berdua dengan syarat itu? Rombongan Utsman menjawab “Ya”. Kemudian ia menatap Ali dan Abbas sambil berkata “Kuingatkan kalian berdua kepada Allah, apakah kuberikan kepada kalian dengan syarat tersebut? Maka menjawab “Ya”. Umar berujar “Kalian berdua sekarang telah meminta keputusan yang bertentangan dengan sebelumnya, maka demi Allah yang dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi, aku tidak memutuskan sesuatu keputusan selain itu. Jika kalian berdua tidak sanggup mengelolanya, kembalikanlah tanah itu kepadaku, niscaya aku akan mencukupi kalian dari hasilnya”.

Ini adalah riwayat yang tsiqah dalam perkara fadak dalam masa Abu Bakr dan Umar ra, dan ketika Utsman ra menjadi khalifah ia menjalankan harta tersebut seperti Rasulullah saw dan dua pendahulunya. Keterangan ini membantah tuduhan-tuduhan terhadap Utsman bahwsanya ia telah memberikan harta fadak kepada Marwan Ibn Hakam dan itu adalah fitnah-fitnah yag dihembuskan orang-orang yang berniat buruk padanya. Sebab kita mengetahui dari nash yang shahih sesungguhnya sadaqah ini telah diserahkan oleh Umar ra ke tangan Abbas dan Ali untuk mengelolanya. Tidak ada periwayatan yang shahih bahwa Utsman ra dalam masa kekhalifahannya telah meminta harta itu kembali dari keduanya. Seandainya itu terjadi, maka dimana suara Ali dan Abbas beserta keturunannya! Di mana protes mereka terhadap Utsman dalam masalah yang menyangkut pribadi mereka, seandainya betul tanah itu dicabut Utsman dari tangan mereka, sebagaimana yang dituduhkan para pembohong dan diserahkannya kepada anak pamannya Marwan untuk dinikmati dan dimiliki? Apa masuk akal, Abbas dan Ali yang mengajukan perkara kepada Umar ra dan mereka bersaing untuk mendapatkan tanah fadak itu, tiba-tiba tidak terdengar lagi suara mereka dan tidak seorang pun dari keturunan bani Hasyim menentang Utsman ra, seandainya tuduhan itu benar?!!

Abd al-Razaq dalam Mushannaf-nya meriwayatkan dari al-Zuhri, bahwa tanah faadak itu semula ditangan Ali lalu pindah ke tangan Hasan, lalu di tangan Husain, setelah itu ditangan Ali Ibn Husain, kemudian Hasan Ibn Hasan, kemudian Zaid Ibn Hasan, dan kata Muammar; “Kemudian di tangan Abdullah Ibn Hasan, kemudian diambil oleh mereka bani Abbas”.

Sedangkan tuduhan tentang pemberian Utsman sebanyak 100.000 dirham kepada Marwan adalah tidak benar dan perlu dikaji. Sebenarnya peristiwa ini adalah Abdullah Ibn Sa’ad Ibn Abi Sarah telah menaklukkan Afrika, dan mendapatkan harta rampasan yang sangat banyak, lalu ia membagikan kepada tentaranya, dan mengeluarkan seperlima dari emas yang berjumlah 500.00 dinar yang diserahkan kepada khalifah. Sisanya masih sangat banyak, yang tidak bisa dibawa ke kota khilafah. Lalu harta itu dibeli oleh Marwan seharga 100.000 dirham dan kebanyakan diuangkannya, ketika ia datang menghadap khalifah untuk memberikan kabar gembira dengan ditaklukkannya Afrika maka Utsman ra memberikan hadiah kepadanya apa yang tersisa dari bagiannya, dan jumlahnya sangat sedikit sekali sebagai refleksi dari kegembiraannya, di mana hati umat Islam telah disibukkan dengan kemenangan tersebut karena jauhnya perjalanan.

Perkataan yang mengatakan Utsman telah memberikan kepada Abdullah Ibn Sa’ad Ibn Abi Sarah seperlima dari seperlima ghanimah Afrika adalah benar. Tetapi Utsman memintanya kembali ketika orang-orang tidak setuju dengan kebijakan ini, dan Utsman telah menjawab di hadapan pemuka sahabat perkara ini dengan mengatakan “Mereka berkata, aku telah memberikan kepada Ibn Abi Sarah harta fai’ dari Allah, padahal yang kuberikan hanyalah seperlima dari fai’ tersebut, yakni 100.000, padahal Abu Bakr dan Umar ra juga melakukan hal serupa; ketika para tentara tidak suka hal itu maka kukembalikan harta itu kepada mereka, padahal mereka sebenarnya tidak berhak, bukankah begitu?” Mereka menjawab “Ya”.

Perbuatan Utsman ra dalam perkara itu tidaklah salah dan riwayat shahih dalam sunnah menyebutkan, boleh memberikan sesuatu kepada para pasukan penyerbu dalam berjihad sebagai sugesti untuk mereka. Hanya saja adalah hak khalifah, menghadiahkan atau membagikan kepada orang-orang yang dikehendakinya jika hal itu dilihatnya sebagai mashlat. Dan untuk diri Utsman ra ada contoh teladan dari Rasulullah saw dan dua pendahulunya sebagai contoh yang baik, ketika Rasulllah saw menghadiahkan sebidang tanah, sebagi belas kasihan, kepada beberapa kaum, dan para khalifah sesudahnya juga memberikan sebidang tanah dari harta fai’ kepada orang yang dipandang pantas menerimanya.

Yahya Ibn Adam al-Qurasyi telah menyebutkan dalam kitabnya al-Kharaj bahwa Abu Bakr telah memberikan Zubair Ibn Awwam sebidang tanah yang letaknya di antara al-Jarof dengan desa Qonat dan Umar ra menghadiahkan kepada Ali tanah di kota Yanbu.

Abu Yusuf berpendapat sesungguhnya tanah itu sama dengan harta, sudah menjadi hak seorang imam untuk menghadiahkan sebagian dari harta baitul mal untuk orang yang sangat diperlukan untuk Islam, dan memperkuat Islam terhadap musuh. Ia mengambil kebijakan itu jika di dalamnya ada kebaikan bagi umat Islam”

Renungkanlah wahai orang-orang beriman….!!!! Sebelum Alloh Swt memintakan pertanggung jawaban kepada kita tentang tuduhan buruk yang dilontarkan kepada para sohabat nabi yang mulia (Rodiyallohu `anhum)..

Apakah kita telah lebih mengetahui dibandingkan Alloh swt? Sehingga kita mengubah firman Alloh Swt yang telah merekomendasikan kemuliaan mereka hanya dengan prasangka dan praduga atau analisa?

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. 9:100)

Apakah ayat ini telah dihapus oleh Alloh Swt? Apakah kita sendiri yang dengan lancang menghapusnya dengan praduga dan analisa? Ohh… Sungguh betapa bodohnya kita.. mengaku Fir`aun bukan dengan lisan kita, tapi dengan almamater kita… dengan gaya kesombongan ilmiyyah kita… dengan keangkuhan obyektifitas kita…

Rosululloh saw bersabda :

Janganlah kalian mencaci maki sahabatku. Demi Dzat yang diriku berada di tanganNya, seandainya salah seorang kalian berinfaq sebesar gunung Uhud berupa emas, maka tidak mampu mencapai nilai infaq mereka meskipun (mereka berinfaq) hanya satu mud atau separuhnya sekalipun”. (Hr. Bukhori : 3673 dan Muslim : 2541)

Ya Robbi La Tukhzini yaumal qiyamah

(Ya Robbku janganlah Engkau hinakan aku pada hari kiamat)

Robbanaghfirlana wa li ikhwaninal ladzina sabaquna bil iman Wa la Taj`al fi qulubina gillal Lilladzina amanu

(Ya Robb kami ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman Dan janganlah Engkau jadikan di dalam hati-hati kami iri dan dengki kepada orang-orang yang telah beriman itu)

(AAS 28/10/08 )

0 komentar

Posting Komentar